DONGENG
MISTERI DESA CERUK BAJUL
Penulis : Siswo Nurwahyudi
3. SANG PENCINTA MELAWAN KUTUKAN
Setelah
dalam semadinya Raden Walat menerima bisikan (wangsit) untuk mengutuk Ceruk
Bajul, tubuhnya bergetar, keringat dingin bercucuran, wajahnya pucat pasi,
semua urat tubuhnya seperti tak berdaya. Hanya kekuatan cinta kasih di hatinya
yang menolongnya untuk tidak pingsan, hatinya sepenuhnya menolak perintah untuk
mengutuk. “Tidak, aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak tega melakukannya”.
Dengan sisa kekuatannya ia pergi meninggalkan tempat semadinya. Namun karena
tubuhnya lunglai membuat langkahnya goyah, kakinya terpeleset hingga tubuhnya
memelintir ke kanan. Dalam kondisi hilang keseimbangan tubuhnya terdorong ke
arah air terjun, air terjun itu menghantam tubuhnya hingga meluncur jatuh lalu
terseret derasnya arus air. Beruntung ia berhasil berpegangan pada sebuah batu
besar setelah dihempas-hempaskan oleh arus air yang menggulung tubuhnya. Dengan
sisa-sisa tenaga Raden Walat berjuang keluar dari arus air, tubuhnya serasa
remuk redam, jidat dan hidungnya berdarah, kemudian ia rebahkan tubuhnya di
sisi sungai dan pingsan.
* * *
Sudah
lebih dari satu purnama Raden Walat tak berani bersemadi di balik air terjun. Bahkan
untuk keluar malam pun ia tak punya keberanian, meski memejamkan mata pun ia
juga tak mampu. Kemudian Raden Walat pun jatuh sakit karena kurang tidur dan
tak mau makan. Untung ada seorang wanita paruh baya bernama Nyi Waluh Sekethi
mau merawat sakitnya. Suatu malam dalam kondisi demam tinggi, antara sadar dan
tidak, Raden Walat seperti ditemui arwah ibunya yang berkata kepadanya: “Ini
sudah ‘kepastian’ bagimu anakku. Ini adalah ‘jalanmu’, kamu tidak akan bisa
menolaknya. Tidak akan bisa.” Raden Walat
terbangun, sambil duduk bersandar ia terus memikirkan perkataan ibunya. Esok
paginya ia merasa badannya sudah lebih segar, kemudian dari hari ke hari penyakitnya
berangsur sembuh. Setelah badannya terasa hampir sembuh, Raden Walat
menceritakan semua yang dialaminya kepada Nyi Waluh Sekethi. Wanita itu
terkejut mendengarnya, tetapi kemudian ia berpesan agar semua itu jangan sampai
diketahui orang lain. “Bahaya, Kamu bisa dibunuh oleh mereka (:kelompok Bajul
Ireng).” Ucap Nyi Waluh Sekethi. Hari-hari berikutnya rahasia itu disimpan
rapat oleh Raden Walat dan Nyi Waluh Sekethi. Dan Raden Walat pun sudah mulai
berani pergi menyelinap ke balik air terjun setiap malam untuk bersemadi. Kali
ini pertapaannya dimaksudkan agar ia terbebas dari sebuah ‘kepastian jalan’ yang
akan menjadi beban bagi hidupnya kelak.
Berbulan-bulan sudah Raden Walat bersemadi
di setiap malam, dan di siang hari tetap menjalani hidup seperti biasa. Aura
yang terpancar dari wajahnya semakin bersinar, membuat siapa saja kini menaruh
rasa segan kepadanya. Para anggota Bajul ireng pun tak terkecuali, meski tetap
terus mengawasi gerak-geriknya. Sampai pada suatu malam di mana dalam
pertapaannya ia kembali mendengar bisikan gaib lagi, suara itu menyapanya
beberapa kali. Kali ini ia mencoba untuk berdialog, dan alangkah kagetnya ia ketika
mendapat respon dari suara gaib itu. Yang terjadi kemudian adalah dialog antara
suara gaib dengan Raden Walat. Dengan hati-hati dan bersungguh-sungguh Raden
Walat memohon agar kutukan yang akan ditimpakan kepada Ceruk Bajul dibatalkan
saja, atau paling tidak ditunda sampai saat menjelang ajalnya tiba nanti. Atau
diganti dengan kutukan yang lebih ringan saja. Namun suara gaib itu menjawab
bahwa kutukan itu sudah menjadi kepastian dan tidak bisa diubah. Meski dengan
disertai dengan tangisan dan cucuran air mata dari Raden Walat, tetap saja
suara gaib itu memastikan bahwa ‘kepastian’ itu tak dapat dibatalkan atau
ditangguhkan, dan Raden Walat sendiri yang akan menjadi utusan untuk
menyampaikan kutukan. Lalu untuk terakhir kalinya Raden Walat meminta agar
kutukan itu nanti akan ditimpakan setelah situasinya memang sudah tak dapat
diperbaiki. Kemudian Raden Walat mengajukan beberapa syarat, yaitu: 1) Agar
kutukan itu hanya ditimpakan di wilayah Ceruk Bajul saja, berbatas
puncak-puncak bukit yang mengelilinginya; 2) Kutukan itu hanya ditimpakan kepada
orang-orang yang sekarang menghuni Ceruk Bajul dan keturunannya saja; 3) Bahwa
kutukan itu bisa dibatalkan jika sudah ditebus dengan upaya penyucian diri; 4)
Bahwa kutukan itu akan membuat Ceruk Bajul beserta penghuninya menjadi baik, makmur,
adil, sejahtera, serta memberi kebaikan bagi seluruh umat manusia di bumi,
seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya; 5) Dirinya bersedia menjadi utusan
namun setelah itu terlaksana ia minta agar raga dan jiwanya dilenyapkan
selama-lamanya. Demikian permintaan syarat yang diajukan Raden Walat, dan
disetujui oleh suara gaib. “Baiklah, semua permintaanmu dikabulkan. Maka
persiapkan dirimu sebaik-baiknya, pada purnama yang tinggal beberapa hari nanti
engkau akan melaksanakan tugasmu”. Begitulah bisikan terakhir dari suara gaib
sebab setelah itu suara gaib itu tak pernah lagi terdengar dalam pertapaanya.
Maka tujuh hari menjelang terbitnya bulan purnamasidi Raden Walat mempersiapkan
diri sebaik-baiknya.
Kini setiap malam ia tak lagi bersemadi di
balik air terjun, tetapi memilih duduk bersemadi di atas batu altar di tengah
tanah lapang yang berada persis di pusat Ceruk Bajul, sebuah tempat yang paling
ditakuti dan disakralkan. Orang-orang Bajul Ireng yang melihatnya merasa geram
bercampur heran, bahkan pimpinan Bajul Ireng bernama Ki Soreng Wadag sempat
menegur marah kepadanya: “Hei, tua bangka tengik. Kenapa kamu duduk di altar
suci itu? Apa kamu sudah menjadi gila dan sudah ingin mampus? Cepat, turun dari
situ atau aku akan membunuhmu!” Raden Walat tersenyum dan menjawab dengan lembut
dan tenang: “Bukankah dalam purnamasidi nanti engkau akan mempersembahkan
korban (tumbal ) kepada para dewa? Nah, aku sudah siap menjadi tumbal
persembahan itu. Aku sudah tua, tak ada gunanya lagi hidup, dari pada hidupku justru akan selalu merepotkan kalian saja. Aku duduk di sini setiap malam
agar aku merasa nyaman dan siap lahir batin demi kesempurnaan upacara
persembahan. Bukankah menurut kalian kesediaan orang yang secara suka rela mau
ditumbalkan akan membuat upacara persembahan menjadi sempurna?” Mendengar
jawaban yang demikian Ki Soreng Wadag terdiam sesaat, lalu tertawa lepas
terbahak-bahak. Kemudian berkata kepada Raden Walat: “Bagus, Bagus..! Memang
akhir-akhir ini aku sudah ingin membunuhmu, karena kalau kamu dibiarkan hidup
lama-lama akan menjadi pertanda buruk bagi kami. Aku senang kamu bersedia
menjadi tumbal yang sempurna. Baiklah kalau begitu, aku biarkan kamu di atas
altar itu semaumu.”
Memang setiap malam purnama bulan Asyura
kelompok Bajul Ireng selalu mempersembahkan seorang kurban manusia bagi para
dewa agar tetap diberi kekuatan dan keselamatan serta umur panjang. Selama ini
tidak pernah ada yang bersedia secara sukarela ditumbalkan padahal itu
merupakan salah satu syarat kesempurnaan persembahan. Kali ini mereka gembira
bukan main, sebab persembahan nanti akan menjadi istimewa karena bulan
purnamasidi yang jatuh tepat di bulan Asyura adalah peristiwa sempurna yang
jarang terjadi. “Para dewa kali ini akan senang sekali menerima persembahan
kita. Inilah saat yang kita tunggu-tunggu selama bertahun-tahun, jadi
persiapkan segala sesuatunya dengan baik jangan sampai ada kesalahan apapun!”
kata Ki Soreng kepada semua anak buahnya.
Dua hari menjelang purnamasidi, bulan sudah
menampakkan wajah keemasannya di angkasa. Cuaca yang cerah membuat cahaya bulan
yang belum bulat penuh itu leluasa menerangi hingga ke dasar hutan sekalipun ketika
cahayanya memutih di titik puncak malam. Raungan serigala dan gonggongan anjing
yang hampir tiada henti sepanjang malam bersahutan menciptakan suasana kontras
dengan pancaran keindahan malam yang terpancar. Bagi gerombolan Bajul Ireng,
suasana itu membuat mereka girang bukan kepalang dan semakin bersemangat dalam
mempersiapkan segala sesuatunya untuk upacara persembahan tumbal. Apalagi
ketika melihat tubuh Raden Walat yang sedang teguh bersemadi di altar seperti
memancarkan cahaya, hal itu mereka anggap sebagai tanda dari para dewa untuk
kesempurnaan persembahan. Sebaliknya bagi para budak, suasana malam itu membuat
bulu kuduk mereka berdiri. Satu persatu para budak mendatangi sang pencinta yang
sedang bersemadi di atas altar untuk memberi rasa simpati dari lubuk hati yang
dalam. Mereka sangat sedih dan terpukul akan segera kehilangan orang yang
selama ini membimbing dan mengasihi mereka setulus hati, lalu satu-persatu pergi
meninggalkan tanah lapang itu dengan perasaan hancur berkeping-keping.
Sedangkan bagi Raden Walat malam-malam terakhir ini adalah malam pamungkas bagi upayanya agar kutukan yang hendak ditimpakan
kepada Ceruk Bajul bisa dibatalkan. Meski ia telah bersepakat dengan ketentuan
syarat yang ia ajukan, tetapi di lubuk hatinya ia masih berharap kutukan itu
bisa dibatalkan. Sebab ia tetap merasa tidak tega jika kutukan itu nanti
benar-benar dijatuhkan. Dalam semadinya di atas altar ia terus berjuang
melakukan perlawanan terakhir terhadap datangnya kutukan. Hati dan pikirannya
terus meronta memohon, hingga dahinya mengernyit keras dan air matanya sesekali
menitik di tengah pertapaannya. Bulan purnama penuh memang sudah seperti tak
sabar menunggu waktunya tiba.
* * *
Matahari hari itu telah beringsut menuju
peraduannya, malam pun segera akan datang. Di ufuk timur sang ratu malam telah
memamerkan cahaya emasnya, yang artinya saat yang dinantikan akan segera tiba.
Sang Pencinta sejak sore hari sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ia
memakai pakaian yang putih bersih, dan tubuhnya telah disucikannya dengan air
bunga tujuh rupa. Rambut yang panjang keperakan dibiarkan saja terurai, ujung
rambutnya menjuntai menyentuh lantai altar saat ia duduk di atasnya. Kini
matanya yang teduh itu tetap tenang terbuka. Napasnya pun mengalir teratur,
bibirnya menyunggingkan senyum tipis dengan sejuta makna, seolah ingin menepis
kesedihan dan kecemasan orang-orang yang mencintainya. Saat itu hampir semua
mata terfokus kepadanya. Seluruh tubuhnya yang seolah diselubungi sinar tipis
berpendar-pendar samar ke segala penjuru, membuat suasana menjelang ritual
persembahan itu menjadi lain dari yang upacara yang sudah-sudah. Sang Pencinta
duduk dengan khusuk di atas altar menghadap ke selatan dimana ia akan dapat
melihat dengan jelas air terjun disaat bulan bersinar terang nanti.
Sang Pencinta masih tetap bertekat bahwa malam
hari ini akan menjadi puncak perlawanannya untuk membatalkan datangnya kutukan,
lalu ia akan meninggalkan dunia ini dengan ikhlas dan bahagia.
*********
Bersambung....................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar