BAGIAN 4 : DONGENG MISTERI DESA CERUK BAJUL

DONGENG MISTERI DESA CERUK BAJUL
Penulis : Siswo Nurwahyudi




4.     RAHASIA DI BALIK KUTUKAN

Diceritakan di dalam kisah Babad Ceruk Bajul bahwa Raden Walat tidak mempunyai istri apalagi anak. Alasannya, jika ia kawin ia tidak tega menyaksikan anak istrinya mengalami derita sebab ditindas oleh orang-orang Bajul Ireng. Hidupnya ia abdikan sepenuhnya untuk melindungi dan menolong sesama sampai akhir hayat.

Di tengah situasi penindasan dan penderitaan ia masih sempat belajar Kitab Kakawin (:syair berbahasa sansekerta) dari Nyi Waluh Sekethi yang konon adalah keturunan seorang Begawan di Padepokan Gunung Kendeng yang diculik dan seluruh keluarganya dibunuh oleh gerombolan Bajul Ireng. Berdua dengan Nyi Waluh Sekethi inilah pada waktu-waktu senggang Raden Walat mengajari beberapa gadis dan pemuda keterampilan membaca dan menulis Kitab Kakawin, serta beberapa ilmu pengetahuan. Tentu saja semuanya dilakukan tanpa sepengetahuan orang-orang Bajul Ireng.

Nyi Waluh Sekethi sebenarnya menaruh hati pada Raden Walat, namun karena lelaki pujaannya itu sudah tetap hati tidak hendak kawin ia pun terpaksa memendam cintanya dalam-dalam. Dan sampai akhir hidupnya Nyi Waluh Sekethi pun tak pernah bersuami, namun ia mempunyai tiga orang putera buah pemerkosaan oleh orang-orang Bajul Ireng. Nah, Nyi Waluh Sekethi bersama ketiga puteranya serta beberapa murid Raden Walat inilah yang di kemudian hari sangat berperan dalam membangun tata kehidupan di Ceruk Bajul. Diyakini bahwa kisah Babad Ceruk Bajul adalah juga buah karya mereka. Maka tak heran jika Nyi Waluh Sekethi sangat mencemaskan Raden Walat pada malam persembahan korban, air matanya tak lagi bisa dibendung. 

* * * 

Nyi Waluh Sekethi ingin sekali berlari memeluk sang pertapa, tetapi itu tak mungkin sebab malam itu orang-orang Bajul Ireng sudah melingkari altar untuk memulai pemujaan kepada para dewa. Berjarak sekitar empat puluh depa darinya, sang pertapa masih duduk di atas altar dengan tatapan mata yang tenang, kedua bibirnya tetap tersenyum seperti semula. Tubuhnya yang berbalut pakaian putih bersih semakin bersinar diterpa cahaya rembulan yang sedang bulat sempurna. Seiring sang rembulan merambat meninggi, semakin kuat pula pancaran sinar Raden Walat. Pun semakin menggila pula gerombolan Bajul Ireng dalam menarikan ritual persembahan yang dipimpin langsung oleh Ki Soreng Wadag sang pemimpin tertinggi.

Mantra demi mantra dipekikkan ke angkasa seperti tak putus-putusnya, suaranya menggema memenuhi seluruh lembah memantul-mantul di dinding-dinding bukit. Suara  musik ‘tetabuhan’ bertalu-talu dengan hentakan irama yang teratur mengiringi suara mantra-mantra, menciptakan suasana riuh rendah dan penuh magis. Sementara itu, di puncak-puncak perbukitan suara para serigala meraung-raung bersahutan dengan lolongan yang panjang menandingi gonggongan dan lolongan anjing milik kelompok Bajul Ireng seperti turut serta menggila meneriakkan mantra-mantra. Pada saat itulah sebenarnya peluang yang paling baik bagi para tawanan untuk melarikan diri, di mana semua orang Bajul Ireng terlibat dalam histeria ritual. Tetapi tak satupun memiliki keberanian untuk melarikan diri, sebab di hutan sana banyak berkeliaran binatang-binatang buas. Atau jangankan mau lari, mendengar suara riuh dari tempat ritual saja sudah membuat bulu kuduk bergidik dan lutut mereka gemetar lemas.

Bulan sudah sepenggalah, kini Raden Walat mulai memejamkan matanya. Ia pusatkan seluruh kekuatan indera dan cipta untuk berserah diri kepada sang Pencipta. Kedua telapak tangan rapat menempel pada bagian pangkalnya tepat berada di ulu hati, telapak kanan mengarah lurus ke atas dan telapak kiri lurus ke bawah. Beberapa saat kemudian kedua matanya kembali terbuka perlahan menatap lurus ke arah air terjun, kini senyumannya menghilang meski tak menghilangkan keteduhan wajahnya. Namun kedua bibir sang pertapa bergetar bergerak-gerak kecil. Lama-kelamaan bibir itu berkomat-kamit tanpa suara, sejurus kemudian air matanya pun menitik bulir demi bulir.

Pemandangan itu tak lepas sedetikpun dari mata Nyi Waluh Sekethi, hatinya bergetar, dari gerak bibir itu ia sadar sepenuhnya bahwa Raden Walat sedang melantunkan kidung Kakawin. Tanpa disadari Nyi Waluh Sekethi menoleh ke arah mana pertapa itu mengarahkan pandangan matanya. Pandangan wanita paruh baya itu terhenti ke air terjun yang bergemerlapan diterpa sinar bulan di antara lebatnya pepohonan. Setelah mengamati dengan seksama, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya kemudian. “Aneh, kenapa tiba-tiba ada banyak sekali kupu-kupu berterbangan menuju ke sana? Ah, mungkin aku yang salah melihat. Mana mungkin ada kupu-kupu berukuran cukup besar berwarna-warni seindah itu, apalagi beterbangan di malam hari.” Ia memang tak percaya, tetapi berkali-kali ia mengucek-ucek matanya, yang dilihatnya tak berubah bahkan semakin banyak kupu-kupu yang datang beterbangan di sana. Pemandangan yang luar biasa menakjubkan itu melenakan pandangannya dari altar tempat pujaan hatinya yang sedang menghadapi maut. Di saat ia sadar dan kembali ingat pada Raden Walat, ternyata kakinya telah hampir mendekati air terjun. Seketika ia bergegas kembali menuju ke arah upacara persembahan sedang diselenggarakan. Langkah kakinya tergopoh-gopoh, sementara bulan purnamasidi nyaris mendekati puncaknya.

Langkah kaki Nyi Waluh Sekethi sempat berhenti sejenak ketika dilihatnya dari kejauhan sang pertapa bergerak berdiri tegak sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas dan menatapkan pandangannya lurus ke atas. Seluruh tubuh Raden Walat sekarang benar-benar bercahaya sangat terang dan menyilaukan mengalahkan terangnya sinar bulan. Melihat itu semakin bergegaslah wanita itu berlari mendekat. Rupanya pancaran sinar menyilaukan dari tubuh sang pencinta itu juga mengejutkan dan menghentikan semua riuh rendah ritual persembahan. Seketika suasana menjadi senyap, lolongan serigala dan gonggongan anjing tak lagi terdengar, suara-suara binatang malam yang biasanya ramai seperti lenyap entah kemana, bahkan angin sama sekali berhenti berhembus. Lalu, tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lantunan merdu Kidung Kakawin dari bibir sang Pertapa laksana menembus langit malam.

Nyi Waluh Sekethi menyimak dengan seksama isi kidung itu, sungguh kidung dengan syair-syair yang sangat indah. Kakawin itu berisi permohonan terakhir kepada Sang Pencipta agar membatalkan kepastian jalan kutukan bagi Ceruk Bajul. Pengorbanan sang pertapa sebagai tumbal adalah jalan penebusan terakhir untuk menggantikan datangnya kutukan. Air mata Nyi Sekethi kembali tumpah berderai mendengar kidung indah itu. Kini langkah kakinya tak ragu dan tak takut lagi mendekati sang kekasih hatinya, tak mempedulikan lagi orang-orang Bajul Ireng yang mulai sadar dan marah. Tetapi belum sampai sepuluh langkah dari altar, langkahnya sudah terhalang oleh kegaduhan orang-orang Bajul Ireng yang marah dan mulai menyerang Raden Walat dengan berbagai senjata.

Kagetlah orang-orang yang menyerang Raden Walat, jangankan melukai, mendekat pun mereka tak kuasa. Setiap kali menyerang justru tubuh mereka terpental jatuh menjauh. Sementara suara kidung sang pencinta semakin mengundang orang-orang yang awalnya takut untuk keluar. Mula-mula hanya melihat dari kejauhan, kemudian secara perlahan semakin berani mendekat meski tetap berusaha menjaga jarak aman. Perasaan takjub, heran, bercampur cemas dan takut menyelimuti mereka. Sementara serangan Bajul Ireng masih saja mengganas, tetapi usaha mereka selalu sia-sia. Hingga akhirnya mereka lemas sendiri karena kelelahan dan putus asa, mungkin juga bercampur dengan rasa takut serta bingung.

Bulan purnama tepat berada pada titik puncaknya, tiba-tiba saja angin kencang datang bersiutan mengombang-ambingkan pepohonan di Ceruk Bajul tanpa terkecuali. Tanah berpijak bergetar menggoyahkan setiap kaki yang masih berdiri, hingga semua orang yang ada terduduk tersimpuh. Anjing-anjing milik gerombolan Bajul Ireng semuanya ketakutan berlarian menjauh menuju kaki perbukitan, suara mereka seperti merintih-rintih, akhirnya anjing-anjing itu pun berselonjoran seperti bersimpuh di tepian hutan. Di atas altar kaki sang pertapa tak tergoyahkan, cahaya terang di tubuhnya semakin menyala menyilaukan mata. Rambutnya yang panjang putih keperakan bersinar mengembang berburai-burai diterpa deru angin.

Lantunan kidungnya berhenti, wajahnya menegak kembali dari tengadahnya, kedua kakinya masih teguh berdiri tanpa terpengaruh sama sekali oleh getaran bumi dan deru angin. Kedua pangkal telapak tangannya kembali merapat turun ke ulu hati seperti beberapa saat lalu sebelum ia bangkit berdiri. Kemudian perlahan tubuhnya terangkat terbang beberapa jengkal dari batu altar, dan berputar perlahan ke kanan. Cahaya tubuhnya yang tadi memancar menyilaukan sekarang berubah lebih lembut selembut cahaya purnama. Maka tampak jelas wajah Raden Walat yang kini memancarkan aura kewibawaan yang menggetarkan jiwa. Membuat semua orang semakin takjub, terlebih orang-orang Bajul Ireng semakin melongo terperangah, cemas dan tak berdaya. Semua terpaku dan bungkam seribu bahasa, hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Nyi Waluh Sekethi punya firasat lain. Akal sehatnya berkata jika kali ini perjuangan terakhir sang pertapa sudah kalah total. Raden walat telah benar-benar berubah dari yang ia kenal. Wujudnya memang masih wujud Raden Walat, namun sorot mata dan raut kelembutan wajah yang penuh cinta kasih telah sirna, sekarang sudah berbanding terbalik. “Ya, dia bukan Raden Walat lagi. Kepastian jalan bagi Ceruk Bajul akan segera terjadi”, Bisik hatinya. Mendadak ia ingat pesan rahasia yang disampaikan Raden Walat siang hari tadi, pesan yang membuat jantungnya berdegub kencang sekaligus membuat jiwanya bergetar. Pesan rahasia itu harus dijaganya rapat-rapat: “Nyi, jika aku gagal dalam usahaku yang terakhir malam nanti dan jalan kutukan memang tak lagi bisa dihindari, aku mohon jagalah rapat-rapat rahasia ini atau pengorbananku dan harapanku akan sia-sia belaka”, bisik sang pertapa. “Tetapi aku pinta buatlah kitab kakawin dengan pesan tersamar tentang rahasia ini. Buatlah sebaik dan seindah mungkin agar orang yang membaca kidung itu terlena oleh keindahannya, sehingga tak menyadari ada pesan rahasia dibalik kidung. Biarlah jalannya waktu yang akan menjaganya dan menentukan sendiri kapan rahasia ini akan dibuka”, lanjutnya. Setelah itu Raden Walat terdiam sejenak, lalu menggeser duduknya merapat ke Nyi Waluh Sekethi dan berbisik lebih lirih: ”Ajari semua orang untuk tabah dan kuat menghadapi penderitaan akibat jalan kutukan itu demi kemuliaan umat manusia di masa datang. Sudah aku tulis sebuah kitab untuk membantumu, ambillah kitab itu di balik air terjun. Percayalah padaku dan aku memercayakan semua ini kepadamu”.

Itulah pesan dan kata-kata terakhir dari pujaan hatinya. Mengingat semua itu kembali membuat hati dan jiwanya bergetar, ia memutar pandangan mengarah ke air terjun. Ditatapnya air terjun itu dengan seksama, kupu-kupu berwarna-warni tak satupun tampak lagi beterbangan di sana. Tak kuasa ia menahan air matanya kembali berderai, pandangannya kembali tertuju pada sang pertapa. Bumi masih bergetar, angin masih menderu bersiutan, ia pun masih bersimpuh bertahan pada kedua tangannya. Ia pun sama seperti yang lain, menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

********



Bersambung.............................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar