ZONA ZERO DIALOG SUMUR
Kali ini kembali saya mencoba
menggali sesuatu dari kenangan masa silam. Pada masa dimana masyarakat di
lingkungan kami sangat mengandalkan sumur untuk memenuhi kebutuhan air
bersih sebelum pipa-pipa PDAM mulai merambah hingga masuk ke dalam rumah-rumah
kami.
Sebenarnya ada tiga sumur yang
melayani kebutuhan air untuk 12 KK, yaitu dua buah sumur gali yang dibuat sejak saya
belum lahir dan sebuah sumur bor dengan pompa manual yang dibuat belakangan
ketika usia saya menginjak kelas satu SMP. Dua buah sumur gali yang saya sebut
di atas tak cukup mampu untuk mencukupi kebutuhan air bersih sebab debit airnya
kecil pun mutu airnya kurang baik untuk dikonsumsi, dan semenjak ada sumur bor
kedua sumur gali tersebut hanya digunakan di saat musim penghujan saja
(sekedar) untuk kebutuhan di luar dapur, mandi, dan cuci (lebih tepatnya
sebagai 'ban serep').
Sumur bor dengan pompa manual dibuat
atas semangat gotong-royong, mulai dari sharing pendanaan hingga pembangunan
fasilitas pendukungnya berupa pelester melingkar dari semen abu-abu hingga
pembuatan kanal pembuangan limbah air, semua dikerjakan secara rame-rame.
Demikian pula untuk perawatan, perbaikan dan penggantian suku cadang yang sudah
aus ataupun rusak.
Di sumur berpompa manual inilah
setiap waktu dan setiap hari terjadi interaksi antar warga, dan saya adalah
salah satunya. Sebagai ‘aktivis sumur’, saya (yang saat itu tergolong ke dalam
usia remaja awal) setiap hari menyerap banyak informasi dari yang ringan hingga
yang berat. Beragam topik dibahas dengan beragam ekspresi pula, kadang
dengan canda gurau, kadang sangat serius, terkadang datar-datar saja,
adakalanya setengah berbisik, tak jarang pula dengan suara bernada tinggi. Ada
topik yang mudah saya pahami dan ada juga yang sulit untuk saya mengerti, atau
bahkan sama sekali jauh dari pemahaman nalar anak seumur saya. Di sini saya pun
mendapat pembelajaran dengan cara yang unik dan alamiah tentang banyak hal,
terutama dalam belajar tata cara adab bermasyarakat. Di sini budaya eksklusif
sedang dibangun dan terus bertumbuh secara dinamis, dengan keberagaman suku
ataupun agama, adalah nuansa Nusantara kecil bagi saya. Di zona kecil ini pula
banyak persoalan di antara kami bisa diselesaikan dengan cara yang sejuk.
Keseruan ‘pertemuan sumur’ akan
terasa pada jam-jam ‘padat sumur’, antara jam 5 hingga jam 6 pagi, kemudian jam
8 sampai dengan jam 9 pagi (didominasi oleh ibu-ibu dengan bak-bak berisi
cucian baju dan aneka peralatan dapur yang butuh dicuci), lalu pada sore hari
di antara waktu ashar dan maghrib dimana di waktu ini hampir semua orang
berkerumun sambil mengantri giliran memompa air ke wadah masing-masing, datang
dan pergi berulang-ulang hingga tendon-tandon air di rumah terpenuhi. Untuk
sekedar menyingkat kata ‘pertemuan sumur’ yang riuh dan menarik ini saya namai
saja dengan ‘DIALOG SUMUR’, dialog tatap muka yang mana di antara peserta
saling membaca ekspresi, resonansi suara, dan gesture secara
langsung dan bersifat terbuka sehingga masing-masing juga sangat saling
mengenal perwatakan satu sama lain.
Saya lahir, tumbuh dan dibesarkan di
lingkungan kompleks rumah dinas militer (asrama KODIM 0813) di kota kecil
bernama Bojonegoro, dimana warga penghuninya sangat sering ‘gonta-ganti’ oleh
sebab mengikuti perintah tugas yang mengharuskan berpindah tempat tinggal pula,
namun ada pula yang menetap di sana dengan durasi waktu sangat lama seperti
keluarga saya yang tinggal di sana hampir 34 tahun. Hal ini yang membuat
dinamika bersosial menjadi sangat rentan sekaligus unik. Rentan oleh sebab
kehadiran warga baru sangat berpotensi membawa bibit ketegangan baru, maklumlah
bahwa di dalam lingkungan militer yang namanya jabatan dan kepangkatan sangat
mempengaruhi pola dan cara berinteraksi meskipun dalam lingkup informal. Unik karena
dinamika interaksi sosial yang kaku tersebut sebenarnya sangat disadari telah
membuat suasana kurang nyaman, sekaligus secara alamiah selalu menemukan cara
untuk mencairkannya. Sepanjang ingatan dan pengamatan saya, dibanding dengan
pola interaksi yang lain, ‘dialog sumur’ inilah cara yang paling berhasil dalam
mencairkan kekakuan tersebut, hanya saja kaum bapak biasanya kalah cepat dengan
ibu-ibu dan anak-anak dalam beradaptasi (catatan: khususnya bagi warga baru).
Dalam suasana ‘dialog sumur’ jabatan
dan kepangkatan seolah lenyap begitu saja. Semua merasa merdeka untuk ngomong
apa saja layaknya manusia tanpa uniform, bahkan untuk berseloroh nakal
sekalipun walau tetap menjaga adat dan kesopanan. Pernah ada pula seorang
perwira yang suka berbicara menggunakan bahasa jawa “krama hinggil” jika sedang
berbincang dengan anak buahnya, tetapi kebanyakan sang anak buahlah yang
“berkrama hinggil” meski usianya lebih tua dan lebih senior. Selebihnya, lebih
suka ‘berngoko ria’ dengan hangat (meskipun tak selepas ‘dialog sumur’ yang
terjadi di luar lingkungan asrama kami). Tetapi ‘dialog sumur’ di lingkungan
kami telah menjadi media yang paling efektif untuk sejenak mendemiliterisasi
diri. Semacam zona bebas tanpa garis demarkasi, zona merdeka dan otonom. Sangat
mungkin dengan suasana ‘dialog sumur’ yang hangat dan merdeka itulah yang
membuat bapak-bapak terlihat lebih betah berlama-lama hadir di sumur pada sore
hari walau urusan air telah usai. Sungguh, tak kalah seru dibanding ‘dialog
sumur’ kaum ibu di setiap pagi. Memang begitulah, jika pagi teritori sumur kami
lebih banyak dikuasai kaum hawa dan di sore hari nyaris mutlak dibawah
kekuasaan para pejantan. Unik bukan?
Acapkali solusi pemecahan masalah
yang berkaitan dengan permasalahan bersama maupun yang menyangkut kepentingan
bersama lahir dari rahim ‘dialog sumur’ ini, bukan di rapat-rapat RT ataupun
pertemuan formal lainnya.
Saya yakin andapun pasti punya
cerita yang nilainya kurang lebih sama, dengan keunikan dan kekhasan masing-masing.
Dan yang dapat saya simpulkan adalah
: secara naluriah manusia sangat membutuhkan ‘ZONA ZERO GRAFITASI’ untuk tetap
bisa merasakan nikmatnya menjadi manusia, makhluk Tuhan yang paling mulia
seantero semesta raya.
Bojonegoro, 29122017
Siswo Nurwahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar