DONGENG
DESA CERUK BAJUL
(Sebuah
Desa Yang Terkutuk)
Penulis
: Siswo Nurwahyudi
Desa
Ceruk Bajul adalah lembah yang dikelilingi perbukitan dengan hutan liar yang
sangat lebat dan angker yang pada masa dahulu menjadi sarang bagi kelompok
penyamun Bajul Ireng yang terkenal sangat kuat dan kejam. Namun di masa-masa
berikutnya (setelah gerombolan Bajul Ireng tumpas) Desa Ceruk Bajul menjadi
desa yang sangat subur dan makmur dimana masyarakatnya hidup rukun dan damai. Masyarakatnya
terkenal sangat ramah dan mulia dalam berbudi bahasa. Ditambah dengan keindahan
alamnya yang sangat eksotik, membuat para pelancong akan betah untuk tinggal
berlama-lama dan mengulang kunjungannya berkali-kali. Namun siapa sangka jika
Desa Ceruk Bajul ternyata menyimpan cerita yang mengerikan.
Cerita dalam Babad Ceruk Bajul mengisahkan tentang
penderitaan seorang Pangeran dari negeri seberang yang diculik oleh gerombolan
Bajul Ireng ketika turut serta dalam perjalanan Ayah dan ibunya (Raja dan
Permaisuri) beserta rombongan prajurit pengawal menuju ke pusat kerajaan
Majapahit untuk menyerahkan upeti sebagai tanda kesetiaan. Di tengah perjalanan
diserang oleh kelompok perompak Bajul Ireng. Peristiwa itu menewaskan ayahnya
dan seluruh prajurit pengawal. Yang selamat hanya para perempuan pelayan (dayang),
dirinya dan ibunya yang kemudian dibawa menuju ke Ceruk Bajul dan dijadikan budak oleh
gerombolan Bajul Ireng. Waktu itu usianya baru menginjak 11 tahun. Tidak
disebutkan dalam kisah siapa nama sebenarnya si Pangeran muda itu, dirinya
hanya memperkenalkan diri bahwa namanya adalah Raden Mas Walat atau biasa
dipanggil Raden Walat,
Pangeran dari kerajaan Laruangbayang di tanah seberang.
Singkat cerita, sesampainya Raden Walat bersama ibunya dan
para dayang di Ceruk Bajul mulailah pula fase penderitaan demi penderitaan bagi
sang Pangeran. Semakin lama semakin berat penderitaan itu disandangnya. Bisa
dibayangkan, sebagai seorang Pangeran yang terbiasa hidup serba mewah dan
berkuasa dalam waktu sekejap roda hidupnya berputar 180 derajat. Kini ibunya
dan dirinya diperlakukan semena-mena, disiksa dan dijadikan budak nafsu oleh
gerombolan yang berperilaku kasar dan bengis. Perlakuan yang sama juga diderita
oleh semua orang yang diculik oleh Bajul Ireng. Hingga suatu hari ibunya
memilih mengakhiri hidupnya di depan matanya karena tak kuat menanggung nasib,
sebilah keris beracun menghujam persis dijantungnya. Seandainya ibunya tidak
berpesan kepadanya untuk tetap bertahan hidup agar kelak bisa mengakhiri
kekejaman Bajul Ireng ia pun ingin menyusul ibunda tercinta ke alam baka.
Bertahun-tahun Raden Walat menerima
siksaan demi siksaan, dicambuk, dipukul, ditendang. disodomi secara bergiliran,
dan bentuk-bentuk siksaan lain yang terlalu panjang dan tidak elok untuk
diceritakan di sini. Gerombolan Bajul Ireng memang benar-benar tak mengenal
adat, jorok dan tak mengenal malu. Jika buang kotoran dilakukan di sembarang
tempat, tak peduli di dalam rumah pun dilakukan sembarangan saja. Jika demikian
maka yang diperintah untuk membersihkannya adalah para budak tak terkecuali
Raden Walat. Bersetubuh pun (lebih tepatnya memperkosa) dilakukan di sembarang
waktu dan tempat, bahkan lebih bangga jika dilakukan di tempat terbuka di
hadapan mata banyak orang untuk menunjukkan kejantanan sebagai lelaki sejati.
Tak terkecuali terhadap Raden Walat, dimana ada yang mau di situ Raden Walat
diseret dan disodomi, lebih sering dilakukan beramai-ramai.
Penderitaan yang dialami dan dirasakan
Raden Walat selama bertahun-tahun sudah tak bisa lagi diungkapkan dengan
kata-kata. Bahkan gerombolan ini memperlakukan anjing-anjing piaraan melebihi
merawat anak-anaknya sendiri. Jauh berbeda perlakuan terhadap para budak? Bagi
mereka anjing-anjing piaraan derajatnya jauh lebih tinggi dari para budak.
Gerombolan ini memang suka memelihara anjing, terutama jenis anjing pemburu.
Anjing adalah harta yang paling mahal, lain tidak. Mereka tak segan-segan
membunuh anak sendiri, tetapi sekalipun tak pernah membunuh anjing.
Pada masa awal-awal penderitaanya
memang ia merasa marah dan hatinya dipenuhi oleh bara dendam kesumat. Tetapi
kemudian kelak ketika ia mulai rajin dan khusuk bersemadi berserah diri pada
Yang Maha Kuasa sedikit demi sedikit perasaan marah, sakit hati, dendam
berangsur pudar. Ia Ikhlaskan penderitaanya, berserah diri penuh kepada Sang
Pencipta. Setiap menjelang tengah malam Raden Walat pergi menyelinap menuju air
terjun. Di balik air terjun itu ia menemukan sebuah lubang yang tak seberapa
dalam, hanya sedalam delapan langkah saja, meski agak sempit tetapi cukup bagi
tubuhnya yang kurus kering itu masuk dan duduk dengan nyaman. Ia lakukan
persemadian itu hingga menjelang fajar tanpa diketahui siapapun. Tak terasa ia
lakukan itu hampir selama 16 tahun. Kini di usianya yang menginjak 42 tahun
jiwa dan batin pikirnya semakin matang. Ia menjadi lebih tenang, lembut dalam
bersikap dan bertutur, memandang dan menyikapi perlakuan bejat para anggota
Bajul Ireng pun dengan keikhlasan dan cinta kasih yang dalam. Sikap kasar
dibalasnya dengan sikap sabar dan lemah lembut. Bibirnya lebih banyak tersenyum
kepada semua orang yang dijumpainya. Jika ada orang yang sakit dialah yang
rajin merawat dengan penuh kasih sayang, tak peduli sapapun itu tak terkecuali
anggota Bajul Ireng atau anak istri mereka. Juga jika ada binatang yang sakit
dirawatnya hingga sembuh. Meski sikapnya itu tak membuat perlakuan Bajul Ireng
berubah kepadanya, ia tak peduli. Kini dalam prinsip hidupnya cinta kasih
adalah yang utama. Bahkan kejahatan yang paling keji sekalipun tetap akan
dibalasnya dengan keikhlasan, ketulusan dan cinta kasih yang dalam.
Baru ketika usia Raden Walat menginjak
65 tahun, perlakuan kasar para anggota gerombolan terhadap dirinya mulai
berangsur berkurang. Kemudian lama kelamaan ia dibiarkan saja bebas semaunya
asal tidak melarikan diri keluar dari Ceruk Bajul. Saat itu Raden Walat
menjelma menjadi matahari dalam kegelapan, pohon yang teduh di teriknya surya,
angin yang sejuk di tengah padang gersang, danau yang menyembuhkan setiap luka,
cinta dan kasihnya seperti jalan tak berujung. Dengan senjata cinta kasihnya
itulah ia bertekad bulat akan mengalahkan kejahatan dan ketidakadilan.
Hingga pada suatu malam, di tengah
semadinya yang khusuk Raden Walat mendapat petunjuk (wangsit) untuk
mengeluarkan kutukan kepada Ceruk Bajul beserta seluruh penghuninya, nanti pada
saat bulan purnamasidi pada bulan Asyura tahun depan. “Jangan takut dan janganlah engkau ragu akan hal itu. Kelak kutukan itu
akan merubah Ceruk Bajul menjadi desa yang Subur Makmur Tata Tentrem Karta
Raharja, dan akan memberikan pengaruh besar pada kehidupan manusia di dunia.
Kelak Ceruk Bajul akan menjadi matahari kedua bagi umat manusia di dunia. Dan
umur kutukan ini akan berakhir saat mulai munculnya tanda-tanda mendekati akhir
jaman. Maka persiapkanlah dirimu sebaik-baiknya.” Begitu kata wangsit yang diterima oleh Raden Walat.
Setelah dalam semadinya Raden Walat
menerima bisikan (wangsit) untuk mengutuk Ceruk Bajul, tubuhnya bergetar,
keringat dingin bercucuran, wajahnya pucat pasi, semua urat tubuhnya seperti
tak berdaya. Hanya kekuatan cinta kasih di hatinya yang menolongnya untuk tidak
pingsan, hatinya sepenuhnya menolak perintah untuk mengutuk. “Tidak, aku tidak mau melakukan itu. Aku
tidak tega melakukannya”. Dengan sisa kekuatannya ia pergi meninggalkan
tempat semadinya. Namun karena tubuhnya lunglai membuat langkahnya goyah,
kakinya terpeleset hingga tubuhnya memelintir ke kanan. Dalam kondisi hilang
keseimbangan tubuhnya terdorong ke arah air terjun, air terjun itu menghantam
tubuhnya hingga meluncur jatuh lalu terseret derasnya arus air. Beruntung ia
berhasil berpegangan pada sebuah batu besar setelah dihempas-hempaskan oleh
arus air yang menggulung tubuhnya. Dengan sisa-sisa tenaga Raden Walat berjuang
keluar dari arus air, tubuhnya serasa remuk redam, jidat dan hidungnya
berdarah, kemudian ia rebahkan tubuhnya di sisi sungai dan pingsan.
*
* * * *
Sudah lebih dari satu purnama Raden
Walat tak berani bersemadi di balik air terjun. Bahkan untuk keluar malam pun
ia tak punya keberanian, meski memejamkan mata pun ia juga tak mampu. Kemudian
Raden Walat pun jatuh sakit karena kurang tidur dan tak mau makan. Untung ada
seorang wanita paruh baya bernama Nyi Waluh Sekethi mau merawat sakitnya. Suatu
malam dalam kondisi demam tinggi, antara sadar dan tidak, Raden Walat seperti
ditemui arwah ibunya yang berkata kepadanya: “Ini sudah ‘kepastian’ bagimu anakku. Ini adalah ‘jalanmu’, kamu tidak
akan bisa menolaknya. Tidak akan bisa.”
Raden Walat terbangun, sambil duduk bersandar ia terus memikirkan
perkataan ibunya. Esok paginya ia merasa badannya sudah lebih segar, kemudian
dari hari ke hari penyakitnya berangsur sembuh. Setelah badannya terasa hampir
sembuh, Raden Walat menceritakan semua yang dialaminya kepada Nyi Waluh
Sekethi. Wanita itu terkejut mendengarnya, tetapi kemudian ia berpesan agar
semua itu jangan sampai diketahui orang lain. “Bahaya, Kamu bisa dibunuh oleh mereka (:kelompok Bajul Ireng).”
Ucap Nyi Waluh Sekethi. Hari-hari berikutnya rahasia itu disimpan rapat oleh
Raden Walat dan Nyi Waluh Sekethi. Dan Raden Walat pun sudah mulai berani pergi
menyelinap ke balik air terjun setiap malam untuk bersemadi. Kali ini
pertapaannya dimaksudkan agar ia terbebas dari sebuah ‘kepastian jalan’ yang
akan menjadi beban bagi hidupnya kelak.
Berbulan-bulan sudah Raden Walat
bersemadi di setiap malam, dan di siang hari tetap menjalani hidup seperti
biasa. Aura yang terpancar dari wajahnya semakin bersinar, membuat siapa saja
kini menaruh rasa segan kepadanya. Para anggota Bajul ireng pun tak terkecuali,
meski tetap terus mengawasi gerak-geriknya. Sampai pada suatu malam di mana
dalam pertapaannya ia kembali mendengar bisikan gaib lagi, suara itu menyapanya
beberapa kali. Kali ini ia mencoba untuk berdialog, dan alangkah kagetnya ia
ketika mendapat respon dari suara gaib itu. Yang terjadi kemudian adalah dialog
antara suara gaib dengan Raden Walat. Dengan hati-hati dan bersungguh-sungguh
Raden Walat memohon agar kutukan yang akan ditimpakan kepada Ceruk Bajul
dibatalkan saja, atau paling tidak ditunda sampai saat menjelang ajalnya tiba
nanti. Atau diganti dengan kutukan yang lebih ringan saja. Namun suara gaib itu
menjawab bahwa kutukan itu sudah menjadi kepastian dan tidak bisa diubah. Meski disertai dengan tangisan dan cucuran air mata dari Raden Walat, tetap
saja suara gaib itu memastikan bahwa ‘kepastian’ itu tak dapat dibatalkan atau
ditangguhkan, dan Raden Walat sendiri yang akan menjadi utusan untuk
menyampaikan kutukan. Lalu untuk terakhir kalinya Raden Walat meminta agar
kutukan itu nanti akan ditimpakan setelah situasinya memang sudah tak dapat
diperbaiki. Kemudian Raden Walat mengajukan beberapa syarat, yaitu: 1) Agar kutukan itu hanya ditimpakan di
wilayah Ceruk Bajul saja, berbatas puncak-puncak bukit yang mengelilinginya; 2)
Kutukan itu hanya ditimpakan kepada orang-orang yang sekarang menghuni Ceruk
Bajul dan keturunannya saja; 3) Bahwa kutukan itu bisa dibatalkan jika sudah
ditebus dengan upaya penyucian diri; 4) Bahwa kutukan itu akan membuat Ceruk
Bajul beserta penghuninya menjadi baik, makmur, adil, sejahtera, serta memberi
kebaikan bagi seluruh umat manusia di bumi, seperti yang sudah dijanjikan
sebelumnya; 5) Dirinya bersedia menjadi utusan namun setelah itu terlaksana ia
minta agar raga dan jiwanya dilenyapkan selama-lamanya. Demikian permintaan
syarat yang diajukan Raden Walat, dan disetujui oleh suara gaib. “Baiklah, semua permintaanmu dikabulkan.
Maka persiapkan dirimu sebaik-baiknya, pada purnama yang tinggal beberapa hari
nanti engkau akan melaksanakan tugasmu”. Begitulah bisikan terakhir dari
suara gaib sebab setelah itu suara gaib itu tak pernah lagi terdengar dalam
pertapaanya. Maka tujuh hari menjelang terbitnya bulan purnamasidi Raden Walat
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Kini setiap malam ia tak lagi bersemadi
di balik air terjun, tetapi memilih duduk bersemadi di atas batu altar di
tengah tanah lapang yang berada persis di pusat Ceruk Bajul, sebuah tempat yang
paling ditakuti dan disakralkan. Orang-orang Bajul Ireng yang melihatnya merasa
geram bercampur heran, bahkan pimpinan Bajul Ireng bernama Ki Soreng Wadag
sempat menegur marah kepadanya: “Hei, tua
bangka tengik. Kenapa kamu duduk di altar suci itu? Apa kamu sudah menjadi gila
dan sudah ingin mampus? Cepat, turun dari situ atau aku akan membunuhmu!”
Raden Walat tersenyum dan menjawab dengan lembut dan tenang: “Bukankah dalam purnamasidi nanti engkau
akan mempersembahkan korban (tumbal
) kepada para dewa? Nah, aku sudah siap menjadi tumbal persembahan itu. Aku sudah tua, tak ada gunanya lagi
hidup, dari pada hidupku justru akan selalu merepotkan kalian saja. Aku duduk
di sini setiap malam agar aku merasa nyaman dan siap lahir batin demi
kesempurnaan upacara persembahan. Bukankah menurut kalian kesediaan orang yang
secara suka rela mau ditumbalkan akan
membuat upacara persembahan menjadi sempurna?” Mendengar jawaban yang
demikian Ki Soreng Wadag terdiam sesaat, lalu tertawa lepas terbahak-bahak.
Kemudian berkata kepada Raden Walat: “Bagus,
Bagus..! Memang akhir-akhir ini aku sudah ingin membunuhmu, karena kalau kamu
dibiarkan hidup lama-lama akan menjadi pertanda buruk bagi kami. Aku senang
kamu bersedia menjadi tumbal yang sempurna. Baiklah kalau begitu, aku biarkan
kamu di atas altar itu semaumu.”
Memang setiap malam purnama bulan
Asyura kelompok Bajul Ireng selalu mempersembahkan seorang kurban manusia bagi
para dewa agar tetap diberi kekuatan dan keselamatan serta umur panjang. Selama
ini tidak pernah ada yang bersedia secara sukarela ditumbalkan padahal itu
merupakan salah satu syarat kesempurnaan persembahan. Kali ini mereka gembira
bukan main, sebab persembahan nanti akan menjadi istimewa karena bulan
purnamasidi yang jatuh tepat di bulan Asyura adalah peristiwa sempurna yang
jarang terjadi. “Para dewa kali ini akan
senang sekali menerima persembahan kita. Inilah saat yang kita tunggu-tunggu
selama bertahun-tahun, jadi persiapkan segala sesuatunya dengan baik jangan
sampai ada kesalahan apapun!” kata Ki Soreng kepada semua anak buahnya.
Dua hari menjelang purnamasidi, bulan
sudah menampakkan wajah keemasannya di angkasa. Cuaca yang cerah membuat cahaya
bulan yang belum bulat penuh itu leluasa menerangi hingga ke dasar hutan
sekalipun ketika cahayanya memutih di titik puncak malam. Raungan serigala dan
gonggongan anjing yang hampir tiada henti sepanjang malam bersahutan
menciptakan suasana kontras dengan pancaran keindahan malam yang terpancar.
Bagi gerombolan Bajul Ireng, suasana itu membuat mereka girang bukan kepalang
dan semakin bersemangat dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk upacara
persembahan tumbal. Apalagi ketika melihat tubuh Raden Walat yang sedang
teguh bersemadi di altar seperti memancarkan cahaya, hal itu mereka anggap
sebagai tanda dari para dewa untuk kesempurnaan persembahan. Sebaliknya bagi
para budak, suasana malam itu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Satu persatu
para budak mendatangi sang pencinta yang sedang bersemadi di atas altar untuk
memberi rasa simpati dari lubuk hati yang dalam. Mereka sangat sedih dan
terpukul akan segera kehilangan orang yang selama ini membimbing dan mengasihi
mereka setulus hati, lalu satu-persatu pergi meninggalkan tanah lapang itu
dengan perasaan hancur berkeping-keping.
Sedangkan bagi Raden Walat malam-malam
terakhir ini adalah malam pamungkas bagi upayanya agar kutukan yang hendak
ditimpakan kepada Ceruk Bajul bisa dibatalkan. Meski ia telah bersepakat dengan
ketentuan syarat yang ia ajukan, tetapi di lubuk hatinya ia masih berharap
kutukan itu bisa dibatalkan. Sebab ia tetap merasa tidak tega jika kutukan itu
nanti benar-benar dijatuhkan. Dalam semadinya di atas altar ia terus berjuang
melakukan perlawanan terakhir terhadap datangnya kutukan. Hati dan pikirannya
terus meronta memohon, hingga dahinya mengernyit keras dan air matanya sesekali
menitik di tengah pertapaannya. Bulan purnama penuh memang sudah seperti tak
sabar menunggu waktunya tiba.
* * * * *
Matahari hari itu telah beringsut
menuju peraduannya, malam pun segera akan datang. Di ufuk timur sang ratu malam
telah memamerkan cahaya emasnya, yang artinya saat yang dinantikan akan segera
tiba. Sang pencinta sejak sore hari sudah mempersiakan diri dengan
sebaik-baiknya. Ia mermakai pakaian yang putih bersih, dan tubuhnya telah
disucikannya dengan air bunga tujuh rupa. Rambut yang panjang keperakan
dibiarkan saja terurai, ujung rambutnya menjuntai menyentuh lantai altar saat
ia duduk di atasnya. Kini matanya yang teduh itu tetap tenang terbuka. Napasnya
pun mengalir teratur, bibirnya menyunggingkan senyum tipis dengan sejuta makna,
seolah ingin menepis kesedihan dan kecemasan orang-orang yang mencintainya.
Saat itu hampir semua mata terfokus kepadanya. Seluruh tubuhnya yang seolah
diselubungi sinar tipis berpendar-pendar samar ke segala penjuru, membuat
suasana menjelang ritual persembahan itu menjadi lain dari yang upacara yang
sudah-sudah. Sang pencinta duduk dengan khusuk di atas altar menghadap ke
selatan dimana ia akan dapat melihat dengan jelas air terjun disaat bulan
bersinar terang nanti.
Sang pencinta masih tetap bertekat
bahwa malam hari ini akan menjadi puncak perlawanannya untuk membatalkan
datangnya kutukan, lalu ia akan meninggalkan dunia ini dengan ikhlas dan
bahagia.
Diceritakan di dalam kisah Babad Ceruk
Bajul bahwa Raden Walat tidak mempunyai istri apalagi anak. Alasannya, jika ia
kawin ia tidak tega menyaksikan anak istrinya mengalami derita sebab ditindas
oleh orang-orang Bajul Ireng. Hidupnya ia abdikan sepenuhnya untuk melindungi
dan menolong sesama sampai akhir hayat.
Di tengah situasi penindasan dan
penderitaan ia masih sempat belajar Kitab Kakawin (:syair berbahasa sansekerta) dari Nyi
Waluh Sekethi yang konon adalah keturunan seorang Begawan di Padepokan Gunung
Kendeng yang diculik dan seluruh keluarganya dibunuh oleh gerombolan Bajul
Ireng. Berdua dengan Nyi Waluh Sekethi inilah pada waktu-waktu senggang Raden
Walat mengajari beberapa gadis dan pemuda keterampilan membaca dan menulis
Kitab Kakawin, serta beberapa ilmu pengetahuan. Tentu saja semuanya dilakukan
tanpa sepengetahuan orang-orang Bajul Ireng.
Nyi Waluh Sekethi sebenarnya menaruh
hati pada Raden Walat, namun karena lelaki pujaannya itu sudah tetap hati tidak
hendak kawin ia pun terpaksa memendam cintanya dalam-dalam. Dan sampai akhir
hidupnya Nyi Waluh Sekethi pun tak pernah bersuami, namun ia mempunyai tiga
orang putera buah pemerkosaan oleh orang-orang Bajul Ireng. Nah, Nyi Waluh
Sekethi bersama ketiga puteranya serta beberapa murid Raden Walat inilah yang
di kemudian hari sangat berperan dalam membangun tata kehidupan di Ceruk Bajul.
Diyakini bahwa kisah Babad Ceruk Bajul adalah juga buah karya mereka. Maka tak
heran jika Nyi Waluh Sekethi sangat mencemaskan Raden Walat pada malam
persembahan korban, air matanya tak lagi bisa dibendung.
Nyi Waluh Sekethi ingin sekali berlari
memeluk sang pertapa, tetapi itu tak mungkin sebab malam itu orang-orang Bajul
Ireng sudah melingkari altar untuk memulai pemujaan kepada para dewa. Berjarak
sekitar empat puluh depa darinya, sang pertapa masih duduk di atas altar dengan
tatapan mata yang tenang, kedua bibirnya tetap tersenyum seperti semula.
Tubuhnya yang berbalut pakaian putih bersih semakin bersinar diterpa cahaya
rembulan yang sedang bulat sempurna. Seiring sang rembulan merambat meninggi,
semakin kuat pula pancaran sinar Raden Walat. Pun semakin menggila pula
gerombolan Bajul Ireng dalam menarikan ritual persembahan yang dipimpin
langsung oleh Ki Soreng Wadag sang pemimpin tertinggi.
Mantra demi mantra dipekikkan ke
angkasa seperti tak putus-putusnya, suaranya menggema memenuhi seluruh lembah
memantul-mantul di dinding-dinding bukit. Suara
musik ‘tetabuhan’ bertalu-talu dengan hentakan irama yang teratur
mengiringi suara mantra-mantra, menciptakan suasana riuh rendah dan penuh
magis. Sementara itu, di puncak-puncak perbukitan suara para serigala
meraung-raung bersahutan dengan lolongan yang panjang menandingi gonggongan dan
lolongan anjing milik kelompok Bajul Ireng seperti turut serta menggila
meneriakkan mantra-mantra. Pada saat itulah sebenarnya peluang yang paling baik
bagi para tawanan untuk melarikan diri, di mana semua orang Bajul Ireng
terlibat dalam histeria ritual. Tetapi tak satupun memiliki keberanian untuk
melarikan diri, sebab di hutan sana banyak berkeliaran binatang-binatang buas.
Atau jangankan mau lari, mendengar suara riuh dari tempat ritual saja sudah
membuat bulu kuduk bergidik dan lutut mereka gemetar lemas.
Bulan sudah sepenggalah, kini Raden
Walat mulai memejamkan matanya. Ia pusatkan seluruh kekuatan indera dan cipta
untuk berserah diri kepada sang Pencipta. Kedua telapak tangan rapat menempel
pada bagian pangkalnya tepat berada di ulu hati, telapak kanan mengarah lurus
ke atas dan telapak kiri lurus ke bawah. Beberapa saat kemudian kedua matanya
kembali terbuka perlahan menatap lurus ke arah air terjun, kini senyumannya
menghilang meski tak menghilangkan keteduhan wajahnya. Namun kedua bibir sang
pertapa bergetar bergerak-gerak kecil. Lama-kelamaan bibir itu berkomat-kamit
tanpa suara, sejurus kemudian air matanya pun menitik bulir demi bulir.
Pemandangan itu tak lepas sedetikpun
dari mata Nyi Waluh Sekethi, hatinya bergetar, dari gerak bibir itu ia sadar
sepenuhnya bahwa Raden Walat sedang melantunkan kidung Kakawin. Tanpa disadari
Nyi Waluh Sekethi menoleh ke arah mana pertapa itu mengarahkan pandangan
matanya. Pandangan wanita paruh baya itu terhenti ke air terjun yang
bergemerlapan diterpa sinar bulan di antara lebatnya pepohonan. Setelah
mengamati dengan seksama, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya kemudian. “Aneh, kenapa tiba-tiba ada banyak sekali
kupu-kupu berterbangan menuju ke sana? Ah, mungkin aku yang salah melihat. Mana
mungkin ada kupu-kupu berukuran cukup besar berwarna-warni seindah itu, apalagi
beterbangan di malam hari.” Ia memang tak percaya, tetapi berkali-kali ia
mengucek-ucek matanya, yang dilihatnya tak berubah bahkan semakin banyak
kupu-kupu yang datang beterbangan di sana. Pemandangan yang luar biasa
menakjubkan itu melenakan pandangannya dari altar tempat pujaan hatinya yang
sedang menghadapi maut. Di saat ia sadar dan kembali ingat pada Raden Walat,
ternyata kakinya telah hampir mendekati air terjun. Seketika ia bergegas
kembali menuju ke arah upacara persembahan sedang diselenggarakan. Langkah
kakinya tergopoh-gopoh, sementara bulan purnamasidi nyaris mendekati puncaknya.
Langkah kaki Nyi Waluh Sekethi sempat
berhenti sejenak ketika dilihatnya dari kejauhan sang pertapa bergerak berdiri
tegak sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas dan menatapkan pandangannya
lurus ke atas. Seluruh tubuh Raden Walat sekarang benar-benar bercahaya sangat
terang dan menyilaukan mengalahkan terangnya sinar bulan. Melihat itu semakin
bergegaslah wanita itu berlari mendekat. Rupanya pancaran sinar menyilaukan
dari tubuh sang pencinta itu juga mengejutkan dan menghentikan semua riuh
rendah ritual persembahan. Seketika suasana menjadi senyap, lolongan serigala
dan gonggongan anjing tak lagi terdengar, suara-suara binatang malam yang
biasanya ramai seperti lenyap entah kemana, bahkan angin sama sekali berhenti
berhembus. Lalu, tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lantunan merdu kidung Kakawin dari bibir sang Pertapa laksana menembus langit malam.
Nyi Waluh Sekethi menyimak dengan
seksama isi kidung itu, sungguh kidung dengan syair-syair yang sangat indah.
Kakawin itu berisi permohonan terakhir kepada Sang Pencipta agar membatalkan
kepastian jalan kutukan bagi Ceruk Bajul. Pengorbanan sang pertapa sebagai
tumbal adalah jalan penebusan terakhir untuk menggantikan datangnya kutukan.
Air mata Nyi Sekethi kembali tumpah berderai mendengar kidung indah itu. Kini
langkah kakinya tak ragu dan tak takut lagi mendekati sang kekasih hatinya, tak
mempedulikan lagi orang-orang Bajul Ireng yang mulai sadar dan marah. Tetapi
belum sampai sepuluh langkah dari altar, langkahnya sudah terhalang oleh kegaduhan
orang-orang Bajul Ireng yang marah dan mulai menyerang Raden Walat dengan
berbagai senjata.
Kagetlah orang-orang yang menyerang
Raden Walat, jangankan melukai, mendekat pun mereka tak kuasa. Setiap kali
menyerang justru tubuh mereka terpental jatuh menjauh. Sementara suara kidung
sang pencinta semakin mengundang orang-orang yang awalnya takut untuk keluar.
Mula-mula hanya melihat dari kejauhan, kemudian secara perlahan semakin berani
mendekat meski tetap berusaha menjaga jarak aman. Perasaan takjub, heran,
bercampur cemas dan takut menyelimuti mereka. Sementara serangan Bajul Ireng
masih saja mengganas, tetapi usaha mereka selalu sia-sia. Hingga akhirnya
mereka lemas sendiri karena kelelahan dan putus asa, mungkin juga bercampur
dengan rasa takut serta bingung.
Bulan purnama tepat berada pada titik
puncaknya, tiba-tiba saja angin kencang datang bersiutan mengombang-ambingkan
pepohonan di Ceruk Bajul tanpa terkecuali. Tanah berpijak bergetar menggoyahkan
setiap kaki yang masih berdiri, hingga semua orang yang ada terduduk tersimpuh.
Anjing-anjing milik gerombolan Bajul Ireng semuanya ketakutan berlarian menjauh
menuju kaki perbukitan, suara mereka seperti merintih-rintih, akhirnya
anjing-anjing itu pun berselonjoran seperti bersimpuh di tepian hutan. Di atas
altar kaki sang pertapa tak tergoyahkan, cahaya terang di tubuhnya semakin
menyala menyilaukan mata. Rambutnya yang panjang putih keperakan bersinar
mengembang berburai-burai diterpa deru angin.
Lantunan kidungnya berhenti, wajahnya menegak
kembali dari tengadahnya, kedua kakinya masih teguh berdiri tanpa terpengaruh
sama sekali oleh getaran bumi dan deru angin. Kedua pangkal telapak tangannya
kembali merapat turun ke ulu hati seperti beberapa saat lalu sebelum ia bangkit
berdiri. Kemudian perlahan tubuhnya terangkat terbang beberapa jengkal dari
batu altar, dan berputar perlahan ke kanan. Cahaya tubuhnya yang tadi memancar
menyilaukan sekarang berubah lebih lembut selembut cahaya purnama. Maka tampak
jelas wajah Raden Walat yang kini memancarkan aura kewibawaan yang menggetarkan
jiwa. Membuat semua orang semakin takjub, terlebih orang-orang Bajul Ireng
semakin melongo terperangah, cemas dan tak berdaya. Semua terpaku dan bungkam
seribu bahasa, hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Nyi Waluh Sekethi punya firasat lain.
Akal sehatnya berkata jika kali ini perjuangan terakhir sang pertapa sudah
kalah total. Raden walat telah benar-benar berubah dari yang ia kenal. Wujudnya
memang masih wujud Raden Walat, namun sorot mata dan raut kelembutan wajah yang
penuh cinta kasih telah sirna, sekarang sudah berbanding terbalik. “Ya, dia bukan Raden Walat lagi. Kepastian
jalan bagi Ceruk Bajul akan segera terjadi”, Bisik hatinya. Mendadak ia
ingat pesan rahasia yang disampaikan Raden Walat siang hari tadi, pesan yang
membuat jantungnya berdegub kencang sekaligus membuat jiwanya bergetar. Pesan
rahasia itu harus dijaganya rapat-rapat: “Nyi,
jika aku gagal dalam usahaku yang terakhir malam nanti dan jalan kutukan memang
tak lagi bisa dihindari, aku mohon jagalah rapat-rapat rahasia ini atau
pengorbananku dan harapanku akan sia-sia belaka”, bisik sang pertapa. “Tetapi aku pinta buatlah kidung kakawin
dengan pesan tersamar tentang rahasia ini. Buatlah sebaik dan seindah mungkin
agar orang yang membaca kidung itu terlena oleh keindahannya, sehingga tak
menyadari ada pesan rahasia dibalik kidung. Biarlah jalannya waktu yang akan
menjaganya dan menentukan sendiri kapan rahasia ini akan dibuka”,
lanjutnya. Setelah itu Raden Walat terdiam sejenak, lalu menggeser duduknya
merapat ke Nyi Waluh Sekethi dan berbisik lebih lirih: ”Ajari semua orang untuk tabah dan kuat menghadapi penderitaan akibat
jalan kutukan itu demi kemuliaan umat manusia di masa datang. Sudah aku tulis
sebuah kitab untuk membantumu, ambillah kitab itu di balik air terjun.
Percayalah padaku dan aku memercayakan semua ini kepadamu”.
Itulah pesan dan kata-kata terakhir
dari pujaan hatinya. Mengingat semua itu kembali membuat hati dan jiwanya
bergetar, ia memutar pandangan mengarah ke air terjun. Ditatapnya air terjun
itu dengan seksama, kupu-kupu berwarna-warni tak satupun tampak lagi
beterbangan di sana. Tak kuasa ia menahan air matanya kembali berderai,
pandangannya kembali tertuju pada sang pertapa. Bumi masih bergetar, angin masih
menderu bersiutan, ia pun masih bersimpuh bertahan pada kedua tangannya. Ia pun
sama seperti yang lain, menunggu apa yang akan terjadi kemudian.
* *
* * *
Jika malam itu adalah malam-malam
seperti biasa, maka pesona Ceruk Bajul di bawah sinar purnamasidi adalah pesona
yang hampir tiada tanding. Akan tetapi malam ini semua pesona itu dikalahkan
oleh pancaran sinar prabawa Raden Walat yang sedang melayang berputar di atas
altar. Dan semestinya pula, kisah hidup sang pencinta musti berakhir di batu
altar itu sebagai tumbal ritual persembahan. Namun yang terjadi sungguh diluar
dugaan semua orang di Ceruk Bajul.
Malam itu adalah malam kepastian jalan
seperti yang telah dijanjikan. Suara Raden Walat menggelegar bak guntur
membahana mengalahkan deru angin dan bumi yang sedang bergetar:
“Wahai
orang-orang Ceruk Bajul, dengarkan baik-baik kata-kataku. Mulai malam ini juga
tanah Ceruk bajul adalah tanah terkutuk bagi siapapun yang memasuki dan
menginjaknya. Mulai malam ini kalian yang sekarang ada di Ceruk Bajul semuanya
adalah orang-orang yang terkutuk sampai ke anak turunmu, di manapun kalian
berada kutukan akan mengikutimu. Ini sudah menjadi kepastian jalan bagi kalian
dan bagi tanah Ceruk Bajul. Maka utamakanlah selalu berbuat baik dan jangan lagi
melakukan perbuatan dosa. Dan jika kalian dengan sengaja atau tidak sengaja
telah melakukan kesalahan dan perbuatan dosa, maka sucikanlah diri kalian.
Karena akan datang kutukan bagi kalian semua pada setiap puncak malam purnama
di bulan Asyura. Meski dosamu hanya sebiji bayam tetap akan menjadi dosa yang
akan mengubah wujudmu menjadi SEEKOR ANJING hingga datang terbit fajar.
Dan apabila sampai purnama bulan Asyura tahun berikutnya dosa itu tidak
tersucikan maka kalian tak lagi dapat berubah kembali sebagai wujud manusia
hingga engkau telah benar-benar bertobat dengan menebusnya secara
bersungguh-sungguh. Maka ikutilah semua petunjuk dari jalan kepastianmu, untuk
itu telah aku tunjuk Nyi Waluh Sekethi sebagai pembimbing jalanmu. Dirikanlah
sebuah bangunan di tempat ini sebagai penanda agar kalian mengingatnya, dan
buatlah bangunan-bangunan bagi kalian menghadap ke tempat ini. Sekarang ini
agar kalian memahami dan sebagai peringatan akan kepastian jalan bagi
kehidupanmu, maka sekarang juga kalian masing-masing wahai orang-orang Bajul
Ireng jadilah SEEKOR ANJING !!”
Usai Raden
Walat mengucapan kutukan, raga sang pertapa berubah menjadi cahaya putih terang
yang menyilaukan lalu melesat lenyap ke angkasa secepat kilat. Dari atas langit
berganti meluncur turun cahaya kuning bulat keemasan jatuh meledak persis di
atas altar hingga batu altar hancur menjadi debu. Ledakan dahsyat menghempaskan semua yang ada
di sekitarnya. Kejadiannya begitu cepat, tak ada seorangpun sempat menghindar.
Sesudah itu bumi tak lagi bergetar dan angin berhenti menderu, suasana kembali
senyap.
Tak lama
kemudian orang-orang mulai bangkit berdiri. Kecuali orang-orang Bajul Ireng,
mereka berkelonjotan berguling-guling, tubuh mereka mengejang, suara mereka
seperti binatang disembelih. Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu kakinya
seperti terpaku saja, tak mampu bergerak sama sekali. Yang mereka saksikan kini
tubuh orang-orang Bajul Ireng setahap demi setahap berubah wujud menjadi
anjing, tak lama kemudian telah sempurna perwujudan mereka sebagai anjing.
Anjing yang berbeda-beda jenis dan ragam warnanya.
Anjing-anjing
jelmaan orang-orang Bajul Ireng menggonggong dan melolong bersahutan, moncong
mereka semuanya mengarah ke bulan yang sudah agak condong ke barat. Setelah
puas melolong dan menggonggong lalu mereka saling berpandangan dan saling
beradu gonggongan. Kemudian terjadilah perkelahian antar anjing jelmaan itu.
Semakin lama semakin seru, saling gigit, saling tubruk, saling tindih, saling
bunuh-membunuh. Ada yang satu lawan satu, ada yang satu melawan dua anjing
bahkan tiga atau empat ekor sekaligus. Satu per satu mulai terluka dengan darah
yang deras mengucur, korban pun mulai banyak berjatuhan. Pertarungan terus
berlangsung antar mereka, yang tersisa terus berkelahi berganti-ganti lawan.
Korban terus bertambah bergelimpangan, akhirnya tak satupun mampu bertahan oleh
sebab luka-luka mereka terus mengucurkan darah. Pertempuran antar anjing
jelmaan Bajul Ireng telah berhenti sama sekali. Bangkai yang mati
bergelimpangan di segala penjuru, yang terluka merintih-rintih kesakitan,
kebanyakan sedang meregang nyawa. Pemandangan mengerikan itu terlihat jelas
sekali di bawah cahaya bulan purnamasidi yang memancar terang di tanah lapang itu.
Sang rembulan
sudah condong di ujung langit dan tinggal pancaran cahaya keemasannya karena
wajahnya sudah tak terlihat terhalang bukit dan lebatnya pepohonan, di ufuk
timur cahaya merah tembaga mulai menyapa langit. Semilir angin membawa embun
pagi terasa sejuk di keheningan. Pada suasana yang kembali hening itu barulah
orang-orang yang tadi menyaksikan peristiwa aneh mulai bisa bernapas lebih lega
dan mulai bergerak pelan meski masih sangat berhati-hati sebab diliputi rasa
takut. Jika semuanya tidak terjadi di depan mata kepala sendiri barangkali
mereka tak akan percaya. Ratusan bangkai anjing bergelimpangan terserak di
sana-sini. Genangan darah membasahi rerumputan di tanah lapang itu menebar bau
anyir. Batu altar yang angkuh dan menakutkan benar-benar telah lenyap tak bersisa.
Mata semua orang terus menyapu ke sekeliling tanah lapang, mulut mereka laksana
terkunci tak mampu mengucap sepatah kata pun, hanya ekspresi takjub bercampur
tak mengerti. Kemudian kembali mereka dikejutkan oleh geliat seekor anjing
jelmaan yang sedang sekarat. Anjing itu tubuhnya mengejang, berkelonjotan,
meringik-ringik, menggelepar ke kiri dan kekanan. Yang terjadi kemudian adalah
proses perubahan bentuk dari wujud anjing ke wujud manusia.
Cahaya pagi
bersinar menerobos pepohonan di bukit timur, Nyi Waluh Sekethi mengajak semua
orang untuk segera membersihkan semua bangkai anjing. Bangkai anjing jelmaan
orang-orang Bajul Ireng semua dikubur di kaki bukit tenggara di seberang
sungai. Seorang lelaki anggota Bajul Ireng yang terluka parah dipindahkan ke
sebuah barak untuk dirawat, tubuhnya yang dipenuhi luka gigitan anjing
terbaring tak sadarkan diri. Ialah satu-satunya yang tersisa dari kelompok
Bajul Ireng.
Suasana Ceruk
Bajul pagi itu kembali ramai oleh suara orang-orang yang bekerja bahu-membahu
membereskan sisa-sisa peristiwa semalam. Setelah semua dirasa sementara cukup
mereka kembali ke barak masing-masing untuk beristirahat sejenak dan akan
dilanjutkan lagi nanti untuk membersihkan bekas-bekas darah di tanah lapang,
hari memang sudah beranjak siang.
Sejak hari itu
orang-orang Ceruk Bajul menjalani hidup di bawah bimbingan Nyi Waluh Sekethi
menghadapi jalan kutukan yang menghantui kehidupan di lembah itu dari jaman ke
jaman.
Dan sudah
menjadi tradisi turun temurun di Desa Ceruk Bajul setiap menghadapi puncak bulan
purnama di bulan Asyura diadakan ritual penyucian diri selama 40 hari 40 malam di
bawah bimbingan para tetua adat dan para tokoh spiritual sesuai dengan
keyakinan agama dan kepercayaan masing-masing agar bersih dari dosa dan terhindar
dari derita akibat datangnya kutukan, sebab meski besarnya dosa itu hanya
sebiji bayam pun tak akan bisa lolos dari jeratan kutukan.
* * * * * T A M A T * * * * *
Diringkas dari : “DONGENG MISTERI DESA CERUK BAJUL” karya Siswo Nurwahyudi
Sila baca cerita selengkapnya di "DONGENG MISTERI DESA CERUK BAJUL" karya Siswo Nurwahyudi episode 1- 6 di laman blog ini (#Sinar Merah Blog).
Suport/dukungan/apresiasi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar