"balada TJUNG"
Siswo Nurwahyudi
I.
PETI TJUNG
SETT : HALAMAN BELAKANG RUMAH, PETI MERAH
TERBUJUR AGAK DI TENGAH DI ANTARA SUMUR DI SISI KANAN DAN BANGKAI GEROBAK
SORONG DI SISI KIRI (DILIHAT DARI SISI PANDANG PENONTON). SEKARANG SEKITAR
LEWAT TENGAH HARI, TETAPI PERTUNJUKAN BELUMLAH DIMULAI, STAGE BLACK OUT
(BIASANYA SEPERTI ITU).
OH..YA…?? TIDAK JUGA..!! SEJAK SEBELUM
PARA PENONTON MASUK DAN MELETAKKAN PANTATNYA, STAGE SUDAH SIBUK OLEH AKTIVITAS
TOKOH KITA. JADI, TAK PERLU BLACK OUT.
MAKA JIKA PARA PENONTON TERLAMBAT HADIR,
KATA-KATA PENYAMBUTAN DARI TOKOH KITA AKAN TERLEWATKAN BEGITU SAJA. OH TIDAK,
JANGAN SALAH SANGKA. BUKAN KATA SAMBUTAN YANG BIASANYA RAMAH DAN MANIS MEMANJA
TELINGA ATAUPUN MENYENANGKAN HATI. PERSISNYA, KATA-KATA KASAR DARI MULUT TOKOH
KITA YANG TAK SUKA ADA SUARA LAIN SELAIN DARI DIRINYA SENDIRI, SEMBARANG UMPATAN
SESEKALI MELETUP DI SELA-SELA NYANYIANNYA AGAR SEMUA ORANG DISEKITARNYA BISA
DIAM.
OH YA, ADA SATU YANG MUSTI TERLIHAT OLEH MATA
PENONTON DI ADEGAN PENYAMBUTAN INI. DI DINDING, BERDIRI TERSANDAR PAPAN KAYU
YANG SUDAH DI CAT WARNA MERAH DAN TERTULIS HURUF “T J U N G” BERWANA EMAS
TERBALIK DARI BAWAH KE ATAS.
TOKOH KITA MENYANYI MARS :
Selamat
datang, selamat datang
Selamat
datang wahai orang mati
Selamat
datang, selamat datang
Selamat
datang wahai orang mati
Gembiralah
hai barisan bangkai
Gembiralah
hai barisan bangkai
Liang
hidupmu sedang kusiapkan
Liang
hidupmu sedang kusiapkan
Kayuh-kayuh
perahumu, jumpalah jiwamu
Kayuh-kayuh
perahumu, jumpalah jiwamu
SUNGGUH
MARS ASAL BUNYI YANG DINYANYIKAN KURANG BERSEMANGAT BERIRING DENGAN DENTUM TALU
HANTAMAN MARTIL MEMAKU LEMBARAN SENG BUTUT DI SEBUAH RANGKA KAYU. MARS SUMBANG
ITU DIULANG-ULANGNYA HINGGA IA MENYELESAIKAN PUKULAN PALU TERAKHIRNYA.
T
J
U
N
G
~ BLACK OUT ~
II. II. PERAHU
TJUNG
TOKOH
KITA SEDANG MARAH DI DALAM PETI.
01) Ah…., sungguh tidak nyaman. Kutil busuk…!
Kenapa terlewat satu paku. Aku benci sekali dengan pekerjaan sembrono seperti
ini. (SUARA MARTIL DIHANTAMKAN PADA PAKU
BERKALI-KALI) Nah…, sempurna sekarang. Nyaman sekali, nyaman sekali.
Selamat datang hai kaum bangkai, di sini kehidupanmu akan dilahirkan.
Ha….ha…ha….ha…ha…!! Ha….ha…ha…..
~ FADE
IN ~
NONGOL
DARI DALAM PETI, WAJAHNYA CERAH DAN PUAS.
02)
Ah…, indah sekali rasanya di dalam sini. Aku
belum pernah merasakan yang seperti ini. Aku benar-benar merasa hidup. Ah… luar
biasa..!! (MEMEJAMKAN MATA, MENGHIRUP
NIKMAT UDARA SEGAR) Oh…. Tuhan…! Aku juga merasa menjadi orok yang baru
saja Engkau hadirkan di dunia. (MERASA
ABSURD) Tuhan…., aku seperti mengalir
di ruang riuh yang tak punya sesak. (MENARIKAN
TARIAN OROK, BERDIRI PERLAHAN, DAN TERUS DENGAN TARIANNYA) kepalaku ringan
dan lunak. Rongga dadaku penuh udara murni yang senantiasa menjaga kesucian
setiap emosi dan keinginan. Setiap mili
sarafku tak henti mengirim sinyal dengan keteraturan tempo menakjubkan dalam
bentuk nada-nada yang luarbiasa, bagaikan simfoni alam semesta yang tak pernah henti
mengalun. Semua mengalir begitu saja dengan keseimbangan yang terjaga. Tak ada
nafsu yang menggebu, tak ada rasa yang menggelora.
03) Sungguh rasa hidup yang sangat murni. Ha…ha…ha….!
Indah sekali rasanya. Inilah aku yang kini orok. Aku orok…! (TARIANNYA TERHENTI)
04)
Ya…., aku orok yang lahir dari sebuah peti
mati. (TERCEKAT) Hah? Apa barusan
kubilang? Peti mati kataku? Tidak. Bukan. Ini bukan peti mati. Kamu bukan peti mati,
kamu adalah peti hidup. Ah…, bukan peti, tetapi kamu adalah perahu. Perahu
kehidupan untuk berlayar menuju Tuhan. Kamu bukan perahu yang mati, kamu perahu
yang hidup. Sebab di setiap urat tubuhmu telah mengalir sari pati jiwaku. Namamu
Tjung, namaku juga Tjung. Nama kita sama. Jadi, kamu adalah aku dan aku adalah
kamu.
MELOMPAT
KELUAR - MENGAMBIL TUTUP PETI - MENUTUP PETI - MELONCAT KE ATASNYA.
05) (MENGANGKAT
JANGKAR) Angkat jangkar Tjung…. Rambate rata …hayooo…! Rambate…
rata .. hayooo…! (MENGEMBANGKAN LAYAR) Bentangkan
layar Tjung…..Holobis kuntul baris, holobis kuntul baris..!! Ha….ha…ha….ha…ha…
Layar sudah siap. Ayo Tjung, ayo sekarang kita berlayar. Ayo bergerak, layar
kita sudah mengembang. Ayolah! Bergeraklah! Jangan diam saja. Lihatlah, cuaca
sedang bagus-bagusnya untuk berlayar. Rasakan, rasakan angin sudah menyambut
layar kita. Tet..teret..tet..tet….. majuuu…!! Heeii…!! Bajinguk…! Aku sedang
bersemangat. Ada apa dengan kamu, hah? Kamu tidak dengar aku berteriak? Bangun,
ayo bangun. (UJUNG PETI TERANGKAT
SEDIKIT) Heeiit.., jangan, jangan. Tetap berbaring saja. Ya, begitu. Kamu
jangan bangun, nanti kita berdua bisa tenggelam. Ayolah Tjung…!! Saatnya
berlayar…!!
06)
(MENGHARDIK)
Tjung..!!
Hei…aku memanggil namamu. Bukan namaku. Nama kita sama, tapi aku tidak
memanggil diriku sendiri. Tjung yang kamu, bukan Tjung aku. Paham kamu? Ayolah
Jung, jangan bikin aku marah. Atau kamu akan benar-benar kujadikan peti mati
dan kuisi dengan mayat gelandangan kurapan. Ayo Jung…! Jung..!! Jung…!? Jung? Eh?
Kenapa namamu bisa berubah jadi Jung?
CELINGAK-CELINGUK
MENCARI SESUATU, YANG DICARI TERGELETAK DI BALIK PETI. IA MELOMPAT MENGHILANG
DI BALIK PETI. MUNCUL KEMBALI DENGAN TERKEKEH. DI TANGANNYA ADA HURUF T SEDIKIT ROBEK.
07) Ooo….jadi ini sebabnya. Xii…xii..xiii…..
rupanya namamu kehilangan satu huruf. Xii…xiii…xii… pantas saja kamu tak kenal
namamu sendiri. Oke.., maafkan aku. Ini memang dari kertas, tapi ini sementara
saja. Besok-besok akan kuganti dengan bahan mika kuning emas atau dari kayu
yang aku cat dengan warna emas kualitas terbaik. Akan kupasang dengan kokoh dan
kuat supaya tidak gampang lepas lagi. (MEMASANG
HURUF) Nah.., sekarang sudah lengkap.
Kamu perahu Tjung, bukan Jung. Maaf jika aku sudah kasar padamu. (MENGELUS LEMBUT, LALU MENGECUP PETI DENGAN
GEMAS) Oke, Tjung. Aku naik lagi. (NAIK) Aku periksa dulu tali-tali dan
tiang layar kita. Ahai…betapa kokoh dan perkasa layar kita Tjung.
08)
(MENDAYUNG)
Baiklah, tak usah buru-buru. Majulah perlahan
dulu, sambil kita menunggu angin datang. Bagus Tjung, bagus. Ya… begitu. Mari
mulai berlayar, akan kupanggilkan angin, ya… bagus Tjung. Majulah, majulah…!
Kupanggilkan angin. (BERSIUL-SIUL MEMANGGIL
ANGIN) Tjung….! Angin datang….angin
datang…!! Ha…ha…ha….ha….ha….!! Sekarang kita berlayar…!!
DERU
ANGIN BERHEMBUS, PERAHU MELAJU BERLAYAR. TOKOH KITA MENGUMBAR BAHAGIA.
09)
Ha…ha….ha….!! Lihatlah Tjung, inilah samudera
raya. Samudera kehidupan yang luasnya tak kan bisa kau kira. Dan kamu adalah
perahuku yang perkasa. Kita berdua dan samudera raya ini akan menunjukkan
kepada dunia bahwa kita ada. Inilah jawaban kepada orang-orang di sana bahwa
merekalah yang sebenarnya sudah mati. Bukan aku. Bukan kita. Lihat Tjung….,
hanya kita berdua yang hidup di samudera raya ini. Di sana mereka semua adalah
bangkai.
10)
Ha..ha..ha…! Ya..? Apa..? Keraskan suaramu
Tjung, aku kurang dengar. Ya..? Ha…ha…ha… Iya, iya, sepintas mereka memang mirip
manusia hidup. Tetapi tidak punya jiwa. Jadi, mereka itu sebenarnya bangkai.
Lihat baik-baik Tjung. Buka matamu lebar-lebar. Lihat di sekeliling kita, hari-hari
mereka hanya bisa memuja perut dan kelamin saja. Mereka tak punya cinta. Biarpun
kata-kata cinta berbuih di mulut mereka, tetapi hatinya kerontang. Kita bukan
mereka Tjung. Kita berlimpah cinta. Mereka hanya punya Tuhan di ujung lidah. Kita
tak hanya memiliki Tuhan, kita bahkan sedang berlayar menuju Tuhan.
11)
Awas… Tjung..! Badai di depan sana…! Tenang…,
tenangkan dirimu Tjung. Jangan cemas, kita hadapi bersama. Hati-hati Tjung…!
Tegarkan dirimu…!! Awaass….!!! Yeeaaah….. yeeeaaahh……! Ha…ha….ha……
BERGULAT DENGAN BADAI, TOKOH KITA
PONTANG-PANTING. GIGIH BERTAHAN, ANTARA BERTERIAK DAN TERTAWA, SIMPHONY
HISTERIA HINGGA BADAI REDA. TOKOH KITA LUNGLAI TERSUNGKUR, TENGKURAP DI ATAS
PERAHU, NAPASNYA TERENGAH-ENGAH, DAN SISA-SISA TAWA MASIH ADA.
12) Kita menang, kita menang Tjung. Bagaimana
kamu? Baik-baik sajakah? (BANGKIT, BERSELONJOR
KAKI, KEDUA TANGAN MENOPANG BADAN) Yah…, beginilah samudera kehidupan. Akan
banyak badai lagi di depan sana. Kita tak perlu khawatir, sebab Tuhan ada di
balik setiap badai. Rasakan Tjung, Tarik napasmu dalam-dalam dan rasakan di
dalam dirimu. Bukankah sekarang kamu merasa dilahirkan kembali?
13)
Begitulah inti watak setiap badai. Meruwat
kita menjadi manusia baru kembali. Jadi siapkan dirimu baik-baik, akan kita
jawab badai demi badai semudah kita melibas segepok buku teka-teki silang. Saat
kita menemui Tuhan kelak, kita benar-benar telah menjadi manusia baru sama
sekali. Setidaknya itu harapan kita. Biar sekecil apapun itu, kita masih
memiliki harapan.
14)
Ah, kamu memang bukan manusia, mana mungkin
kamu mengerti hal-ikhwal semua ini. (TURUN
DARI PETI) Kamu capek Tjung? Oke, sementara waktu kita istirahat dulu. Bersantailah
seolah kita sedang telentang di pantai senja berpasir putih. Tidurlah jika kamu
ingin tidur. Bernyanyilah jika kamu suka. Aku juga ingin bersantai, menikmati
kelahiranku yang baru.
III. III. TJUNG KECIL
TOKOH
KITA BERJALAN MENUJU KANDANG AYAM MENGAMBIL SEBUTIR TELUR. MENCIUM, MENGGENGGAM
DAN MENERAWANG KE CAHAYA MATAHARI.
15)
Setiap kelahiran memiliki jalannya
masing-masing. Tidak ada yang bisa memilih, di mana, jam berapa, dengan cara
apa dilahirkan. Bahkan ini, tidak mungkin dipaksa melahirkan seekor ayam. Secanggih
apapun mesin penetas, bullshit. Tidak ada benih kehidupan di dalam telur ini. Tetapi
aku percaya, induk ayam menelurkannya dengan cinta yang hidup. (MENGEJAN MENIRU AYAM BERTELUR) Kemudian
berteriak lantang kepada Tuhannya : kok..kok..kok..petok…! kok…kok..kok..petok…petok…!!
Ritual rasa sukur, doa-doa, dan harapan akan keberlangsungan kehidupan. Biarpun
hanya sebutir harapan di atas ketidakpastian meja judi kehidupan.
16)
Aku pikir, begitulah seharusnya menjadi
seorang ibu ketika mendengar tangis pertama dari oroknya sesaat setelah dilahirkan.
Dulu aku pun berharap begitu pada ibuku. Ibuku? (TERCENUNG KECUT) Sampai setua ini aku tak pernah tahu pasti apakah
dulu aku dilahirkan oleh seorang ibu. (MELETAKKAN
TELUR DI TOPI, MENIMANGNYA) Ibu, satu kata yang terlalu mewah di lidahku. Aku
suka rindu mengucapkan kata itu, tetapi aku selalu gagal mengunyah dan
menelannya. Jangankan seorang ibu. Sampai detik ini, tak ada yang bersedia
menjawab pertanyaanku : siapa sejatinya perempuan yang melahirkan aku? Tidak
juga aku. Bahkan Tuhan. (SEDIKIT
BERSEMANGAT) Jika aku bertemu Tuhan nanti, pertama kali yang akan
kutanyakan : Ya… Tuhanku, mohon tunjukkan perempuan manakah yang telah
melahirkanku? Tolong, jawablah Tuhan. Hanya Engkau harapanku satu-satunya. Jangan
diam, Tuhan. Aku mohon pada-Mu. Sungguh…! (MELEPAS
NAPAS PENDEK) Ah….., ya begitu. Aku akan begitu. Andai saja aku punya
keberanian, aku tak perlu melibatkan Tuhan. (MEMASUKKAN
TELUR KE SAKU CELANA) Atau
seandainya aku boleh memilih, aku lebih memilih tidak usah dilahirkan saja.
17)
(MENGAMBIL
SEBUNGKUS PLASTIK TEMBAKAU, MELINTINGNYA) Sejujurnya, aku tak
begitu suka merokok. Ini sekedar untuk mengobati rinduku pada Simbok. Juga
Pak-e. Mereka suka merokok berdua di halaman setiap sore sambil mendongengkan
sebuah cerita untukku. Atau sekedar mengajariku membuat mainan dari daun kelapa
yang masih ranum. Mereka menyebutnya janur. Simbok juga suka membuat ketupat
dengan daun itu. Dulu aku sudah bisa membuat macam-macam mainan dari janur,
juga dari pelepah daun pisang. Simbok dan Pak-e mengajariku semua itu.
Ahh….ha…ha…ha…ha…. ternyata masa kecilku cukup menyenangkan. Ha…ha…ha….
18)
Simbok dan Pak-e. Mereka orang-orang sederhana,
kasih sayang mereka begitu tulus. Tak sekalipun mereka berkata bohong, mereka
selalu menjawab semua pertanyaanku apa adanya. Aku tak pernah meragukan
kejujuran mereka.
19)
(MENJADI
SIMBOK) “Cung, andai saja
Simbok dan Pak-mu tahu. Pasti akan kami pertemukan kamu dengan perempuan yang
melahirkan kamu. Simbok dan Pak-mu ini sudah muter-muter kemana-mana mencari tahu
siapa sejatinya perempuan itu. Tapi mau gimana lagi? Wong sampai sekarang belum
ketemu”.
20)
Begitu kata Simbok dengan sorot mata memelas.
Kata Pak-e, aku dulu ditemukan hampir mati kedinginan di pinggir rel kereta
api. Aku bayi merah yang menangis keras di tengah malam buta berselimut kabut.
Tubuhku berlumur darah merah dengan tali pusar yang masih menjuntai.
21)
(MENJADI
SIMBOK) “Cung, malam itu
Pak-mu hanya menemukan kamu. Tidak ada siapa-siapa di sana itu, cuma kamu. Simbok
yang memandikan kamu dengan air hangat dan membungkusmu dengan kain. Pak-mu memerah
susu sapi milik tetangga untuk minum kamu, memanggil dukun beranak, merawat
luka-lukamu, melakukan apa saja asal malam itu kamu bisa selamat, bisa hidup”.
MENYULUT
ROKOK, SISA NIKMAT ASAP ROKOK MENGEMBUS PANJANG DARI MULUT.
22)
(MENJADI
PAK-E) “Simbokmu berkata
benar. Kami sangat bersukur kamu bisa melewati waktu sampai kamu segede ini.
Sebelas tahun sudah. Waktu seperti melesat sekedipan mata saja”.
23)
(MENJADI
SIMBOK) “Hidup dan
kehidupan itu kudu dilihat utuh. Ada yang nyata, ada yang tidak nyata. Ada yang
mudah dimengerti ada yang sulit dicari jawabnya. Begitu juga jalan hidupmu,
kenapa kamu harus ada di rumah ini. Itu sudah garis nasibmu. Pesenku pada kamu,
pandanglah jauh kedepan. Menengok ke belakang sekali-sekali boleh, tapi masa
depanmu jauh lebih panjang, lebih penting. Percayalah, di dunia ini kamu tidak
sendiri, di luar sana masih banyak anak-anak yang senasib dengan kamu. Bahkan
mungkin lebih menderita”.
24)
(MENJADI
PAK-E) “Lihat anak-anak bebek di sana itu. Mereka menetas dan
tumbuh bersama induk menthok. Sementara induk bebek tidak pernah peduli pada nasib
telur-telurnya sendiri. Demikian juga perempuan. Ada kalanya seorang perempuan
hanya diberi tugas mengandung dan melahirkan saja, tetapi untuk membesarkan dan
mengasuhnya Gusti Pengeran menugaskan perempuan lain yang ikhlas menjadi simbok.
Simbok dan perempuan itu sama-sama wanita, tetapi keduanya tidak sama. Camkan
baik-baik itu!”
25)
(MENJADI
SIMBOK) “Cung, kamu jadi
ikut pak Wira hijrah ke Jawa Barat bersama rombongan tentara-tentara Rikiblik
itu? (MEMANDANG HARU) Eehh… kenapa
sekarang bengong begitu? Mana semangatmu yang tadi siang itu? (BERDIRI, SIKAP TEGAP, TANGAN MENGHORMAT) Mbok-e…,
Pak-e…., lapor..!! Aku mau jadi tentara. Besok pagi diajak Kapten Wira hijrah
ke Jawa Barat. Mohon diijinkan. Laporan selesai..!! Lhaah…? Sekarang kok loyo
begitu? Bangkit cung, bangkit…, semangat. Nah… begitu bagus. Simbok sama Pak-mu
sudah merelakan kamu pergi berjuang bersama pak Wira. Kamu memang masih terlalu
muda, terlalu kecil malah. Tapi yakinlah nanti kamu akan tumbuh tinggi dan
gagah, menjadi tentara yang gagah berani. Lebih gagah dari semua tentara di
sana itu”.
26)
(MENJADI
PAK-E) “Sore tadi aku dan
simbok-mu sudah menemui pak Wira. Mulai besok masa depanmu akan bersama pak
Wira. Tugas pak-e dan simbokmu terhadap kamu sudah selesai. Pak-e yakin kamu
kelak akan jadi orang jika kamu ikut bersama pak Wira. Daripada tetap di sini,
kamu tak akan pernah jadi apa-apa kaya aku dan simbok-mu sekarang ini. Semua
keperluanmu sudah disiapkan sama simbok-mu. Pergilah besok. Pergilah pahlawan
kecilku. Kejarlah masa depanmu, jadilah pahlawan kebanggaan pak-mu dan
simbok-mu. Ya cung, cah bagus?”
27)
(MENJADI
SIMBOK) “Eeehh….jangan mewek. Laki-laki tidak boleh nangisan.
Mosok mau jadi tentara kok masih nangisan? Nggak usah cemaskan pak-mu dan
simbok-mu. Semua akan baik-baik saja.”
28)
(MENANGIS
KECIL) Aku menangis bukan
soal berat pergi meninggalkan Simbok dan Pak-e, tekatku sudah bulat ikut
berjuang Mbok. Aku bingung Mbok, aku belum punya nama yang gagah dan pantas
untuk jadi tentara. Seperti pak Wira, Kapten Wira Irawan, nama yang gagah.
Makanya aku minta nama sama Mbok-e dan Pak-e biar namaku bisa gagah seperti pak
Wira.
29)
(MENJADI
SIMBOK) “Eealaah… jebule
ngono? Piye Pak? Ternyata selama ini kita lupa, kita belum pernah memberi nama
pada anak kita.”
30)
(TANGISNYA
LEPAS, TANGIS LELAKI KECIL) Jadi selama ini aku sama
sekali belum punya nama ya Mbok? Semua orang punya nama, kenapa aku tidak?
Sampeyan-sampeyan jahat.
31)
(MENJADI
PAK-E) “Siapa bilang kamu tidak punya nama? Namamu Tjung, iya..
itu namamu. Pak-mu, Simbok-mu, pak Wira, semua tentara di markas sana
memanggilmu Tjung. Pak lurah, pak carik, tetangga-tetangga kita, bahkan
teman-temanmu setiap hari semua memanggilmu Tjung. Iya kan? Tjung itu namamu
cah bagus. Nama yang bagus, mudah diingat, mudah diucap, dan menegaskan bahwa
kamu ini bocah laki-laki tulen. Bagus nama itu, gagah”.
32)
(MENJADI
SIMBOK) “Iya, bener cung. Karena kamu anak laki-laki, jadi semua
panggil kamu cung. Kalau kamu anak perempuan semua pasti akan memanggilmu
genduk”.
33)
(MENJADI
PAK-E) “Sssttt….Simbok
ini gimana sih? Mbok jangan dijelas-jelaskan blak kutang seperti itu, kasihan
si anak. Kita memang salah sama dia, sampai anak segede itu kita lupa belum
kasih nama. Dalam situasi genting seperti ini, ayolah… bohong sedikit juga
nggak apa. Demi anak kita”.
34)
(BERUSAHA
KERAS MENGAKHIRI TANGIS)
Pak-e.., Mbok-e…, lapor..! Saya sudah siap jadi tentara. Mulai besok
namaku adalah Kopral Tjung. Laporan selesai.
35)
(MENJADI
SIMBOK. TERKEJUT, LALU TERSENYUM) “ Eehh…. Anakku besok sudah
jadi tentara? Laporan diterima, laksanakan. Tapi mbok ya jangan Kopral, kamu
harus jadi Kapten kaya pak Wira. Kapten Tjung. Dek dererek dek dek, dek dererek
dung…cerr… (BERJALAN MENIRUKAN BARISAN
TENTARA) Kapten Tjung yang gagah berani. Otot kawat balung wesi kaya Raden
Gatotkaca. Iya kan Pak?
36)
(MENJADI
PAK-E) “Huu… kalau dapat jangan cuma jadi Kapten. Dia harus jadi
Jenderal. Jenderal Tjung yang sangat berwibawa seperti Bisma yang agung.
Memegang tongkat komando, tangan kanan menghormat, berjalan gagah memeriksa
barisan. Teret tetet…teret tetet…telolelolet…..prok…prok…prok…! Kepada Jenderal
Tjung, hormaaat….grak.”
37)
(TAWANYA
MENGEMBANG, SOROT MATA MENGAWANG) Ha…ha….ha…ha…. Tingkah
Simbok dan Pak-e selalu berhasil membuatku tertawa. Malam itu kami bertiga
tidur satu ranjang. Bercanda, bergurau, sampai hampir tengah malam. Kemudian
kami semua tertidur pulas. Pulas sekali.
IV.
IV. LONG
MARCH
38)
Pagi-pagi sekali aku sudah dijemput seorang
tentara, aku sudah lupa pangkat dan namanya. Simbok melepasku dengan ciuman di
pipi, berkali-kali pipi ini diciuminya. Kubiarkan saja Simbok sepuasnya.
Sementara Pak-e hanya mengusap-usap rambutku dan menepuk-nepuk pundakku. Semua
berusaha melepasku dengan senyum dan wajah cerah. Tetapi aku bisa merasakan
degub jantung mereka, hati mereka pasti sedang menangis pilu. Aku tahu, sebab aku
pun memendam rasa yang sama.
39)
Aku pergi melangkah mundur sampai batas tepi
halaman dan jalan. (MENGHORMAT) Berhenti sejenak untuk menghormat militer
kepada Simbok dan Pak-e. M E R D E K A…! Mereka juga menjawab : MERDEKA..!
Ha…ha…ha…, pagi itu aku merasa sudah menjadi tentara pejuang. Aku menjadi
Kopral Tjung, melangkah gagah menuju markas Kapten Wira Irawan.
40)
Lapor Kapten. Kopral Tjung siap untuk
berangkat. Kapten gagah itu tidak menjawabku sama sekali. Menolehku sebentar
lalu sibuk mengatur-ngatur, berteriak-teriak memberi komando. Aku lihat, semua orang
sibuk berkemas dan mengatur barisan. Tak satu pun yang mempedulikan aku, aku
tersudut sendiri di dekat sebuah mobil hitam.
41)
Pikiranku mulai kacau, tak tahu harus apa. Kacau
sekaligus takjub. Aku merasakan aroma perang sedang disiapkan. Banyak sekali
tentara dan senjata di sana. Aku sudah sering main-main di markas itu, tetapi
baru kali itu aku tahu, ternyata ada tentara dan senjata sebanyak itu di dalam
markas. Mereka bergerak, berjalan dalam kelompok-kelompok. Hampir semua memanggul
senjata. Kubandingkan dengan diriku, hanya nyangklong tas goni bikinan tangan
Pak-e, berisi beberapa pakaian, dua bungkus ketela rebus dan dua bungkus nasi
uduk bekal dari Simbok.
42)
Ah, tiba-tiba saja Kapten Wira sudah di
belakangku.
43)
“Tjung, ayo jalan”
44)
Siap Kapten. Kopral Tjung Siap berangkat.
45)
“Kopral? Siapa kasih kamu pangkat kopral?”
46)
Siap Kapten, saya sendiri.
47)
“Lambemu. Koprol dulu seratus ribu kali. Baru
boleh pasang kopral di lenganmu. Ayo jalan.”
48)
Belum sempat aku menjawab ‘siap’, punggungku
didorong maju.
49)
“Kamu ikut Kopral Momo. Ingat, apapun yang
terjadi jangan jauh-jauh darinya. Kopral Momo akan menjagamu.”
50)
Oohh… long march yang panjaaang…, perjalanan
yang jauuuh…, sengsara dan menakutkan. Naik turun gunung-gunung terjal, menembus
hutan-hutan, menyeberangi sungai-sungai, menerjang gempuran hujan peluru dan
Meriam Belanda. Aku melihat ada yang mati dan terluka. Tentara, perempuan,
anak-anak, barisan panjang yang lebih sering kelaparan daripada kekenyangan.
Yang sakit dan terluka merintih, anak-anak menangis, entah berapa kali aku
jatuh pingsan. Siang mencekam, malam apalagi. Berhari-hari, berminggu-minggu,
akhirnya terlampaui juga. Ragaku selamat di tanah Priangan, tetapi jiwa dan
pikiranku berkeping-keping. Hatiku selalu ingin berteriak : Mbok-e…..!
Pak-e…..! doakan aku….! Aku sayang kamu semua….! Merdeka…! Merdeka….!
Merdeka….! (TERJATUH BERTUMPU PADA LUTUT,
MENANGIS) Simbok, Pak-e, aku kangen.
Kangen sekali.
V.
V. JENDERAL TJUNG
51)
Kapten Wira benar-benar memenuhi janjinya
kepada Simbok dan Pak-e. Kapten selalu menjagaku, membangun semangatku,
melengkapi apa-apa kebutuhanku, kadang-kadang berlebihan malah. Bayangkan,
semua itu dilakukan ditengah-tengah tugas tempur yang melelahkan. Barulah
setelah perang berhenti dan Belanda pergi, kami bisa tenang. Aku dibawa serta
masuk ke barak tentara. Di markas itu aku mendapat tugas pertamaku, menjaga dan
merawat sebuah mesin ketik di ruangan Kapten Wira. Aku diperintah untuk merawat
dan menjaga melebihi menjaga diriku sendiri. Aku jalankan tugas itu dengan
sepenuh jiwaku.
52)
“Tjung, kamu ingin jadi prajurit kan? Jadi
tentara?”, Tanya Kapten Wira suatu kali.
53)
Siap Kapten. Sekarang Kapten? Aku bersemangat.
Hatiku berbunga-bunga.
54)
“Tidak sekarang. Berapa umurmu?”
55)
Siap, tidak tahu.
56)
“Mau jadi tentara, tapi umurmu saja kamu tidak
tahu?”
57)
Siap Kapten, mungkin 12 tahun Kapten.
58)
“Jangan bilang mungkin. Kamu memang sudah 12
tahun sekarang”.
59)
Siap Kapten, 12 tahun. “
60)
Tjung, besok Bapak naik pangkat. Jadi Mayor.
Besok Bapak kasih hadiah. Mau?”
61)
Siap Mayor, mau.
62)
“Sekarang masih Kapten, Mayornya besok.”
63)
Siap Mayor besok.
64)
“Ha…ha…ha… kamu itu memang lucu Tjung. Besok
minta hadiah apa?”
65)
Siap, saya minta naik pangkat juga seperti
Kapten naik Mayor.
66)
“Ha…ha…ha…ha…., kamu minta naik pangkat juga?
Ha…ha…ha…. Ya, baik. Kalau besok Bapak sudah jadi Mayor, kamu naik pangkat jadi
juru tulis pribadiku. Piye?”
67)
Siap, tidak bisa. Belum bisa ngetik.
68)
“Harus bisa, katanya mau naik pangkat. Juru
tulis pribadi seorang Mayor itu pangkat cukup gaya. Daripada jadi tukang jaga
mesin ketik di kantor Kapten, pangkatmu sudah naik tiga tingkat sekaligus. Masa
kamu tidak mau?”
69)
Siap, mau. Tapi belum bisa ngetik.
70)
“Kamu harus bisa. Ini perintah.”
71)
Siap laksanakan perintah.
72)
“Nah, begitu. Bagus. Kalau kamu mau jadi
prajurit kudu belajar dulu taat perintah atasan. Ngerti?”
73)
Siap, mengerti.
74)
“Mulai besok kamu belajar ngetik. Ada guru
yang akan mengajari kamu ngetik. Tjung, belajarlah rajin-rajin. Aku ingin kelak
kamu jadi orang. Ngerti?”
75)
(TERHARU,
NADA SUARANYA MENURUN) Siap, me..meng…mengerti.
76)
Pagi-pagi aku dibawa dengan jeep ke sebuah
rumah, tidak terlalu jauh, sekitar tiga ratus meter saja dari markas. Hatiku
galau, pikiranku gundah. Hari ini aku akan berhadapan dengan seorang guru. Sebelumnya
aku sering mendengar cerita tentang guru, tetapi belum sekalipun aku bertatap
muka langsung dengan orang yang bernama guru. Yang sering aku dengar, guru itu
orang yang galak, suka marah. Suka mukul pakai kayu. Suka ini suka itu, serem-serem
pokoknya cerita soal guru. Dulu di kampung, aku menolak mati-matian kalau
hendak disekolahkan. Aku takut, membayangkan tiap hari dimarahi atau dipukul
guru pakai kayu.
77)
Tetapi hari itu aku harus menjalankan perintah
yang tidak boleh aku tolak. Berhadapan dengan guru. Alamaaak…..!! Membayangkan
saja sudah merinding bulu kudukku. Udara sejuk pagi tanah Priangan tak mampu
menghentikan keringatku yang deras mengucur di sekujur tubuhku.
78) Kalau ingat masa itu aku terkekeh sendiri. Apa
yang kubayangkan berbalik seratus delapan puluh derajat. Ternyata guru
mengetikku orangnya sangat cantik, kulitnya putih bersih, pipinya merona,
hidungnya mungil runcing sedikit mancung, bibirnya tipis dan merah merekah,
tubuhnya seharum mawar, rambutnya hitam tebal mengkilat lurus sepundak,
pakaiannya selalu bersih dan indah. Seorang wanita dewasa yang sudah modern
untuk ukuran masa itu. Tutur katanya lembut, budi bahasanya menarik. Tatap matanya
yang bundar sesejuk air gunung. Aku sudah terpesona pada guru baruku sejak hari
pertama.
79)
Namanya Entin, aku memanggilnya teteh Entin seperti
yang ia minta. “Panggil aku teh Entin saja ya Tjung, supaya kita akrab seperti
kakak-beradik”.
80) Kuakui, pesona teh Entin mampu memacuku untuk menguasai
jurus mengetik sepuluh jari dengan tempo singkat. Tiga bulan saja, aku sudah
mahir mengetik dengan rapi dan hampir tanpa kesalahan. Jari-jariku seperti
punya mata sendiri di atas tuts-tuts huruf dan angka yang berbaris. Pak Wira
yang sekarang Mayor sangat puas melihat kemajuanku yang luar biasa.
Dibelikannya aku sebuah mesin ketik baru sebagai hadiah.
81)
“Tjung, ini hadiah untukmu. Ambillah, sekarang
jadi milikmu. Jadikan ini senjatamu. Anggap saja ini bedil dan kamu tentara.”
82)
Aku tidak paham maksud dari ucapan pak Wira.
Tetapi aku gembira mendapat hadiah itu. Mesin ketik Jerman yang sudah dibubuhi
ukiran grafir T-J-U-N-G pada belakang gandaran.
83)
Meski aku sudah pinter mengetik, sepertinya
teh Entin masih belum puas juga. Semakin hari aku diberi tugas-tugas mengetik
yang lebih rumit. Bertumpuk-tumpuk tugas harus aku selesaikan dengan benar dan
cepat.
84)
(MENGETIK)
Setiap
hari belajar mengetik tanpa cuti, pagi sampai sore. Tugas-tugas dari teh Entin
harus bisa aku selesaikan tanpa boleh mengeluh. Aku harus terus bersemangat. Mengetik…
mengetik….mengetik terus… mengetik.....terus…
85)
Malam hari, biasanya kuhabiskan bercengkerama
dengan para tentara di barak. Pergaulan yang tak seimbang, dari sisi usia atau
dari segi bahan pembicaraan. Tapi aku bisa apa? Aku cuma anak-anak yang setiap
hari dikelilingi ratusan tentara. Dan aku satu-satunya anak-anak di barak itu. Masih
untung ada kamar khusus bagi perwira bujang seperti pak Wira. Di situ aku
tinggal bersama pak Wira. Di kamar itu aku aman dari gangguan tentara-tentara
jahil.
86)
Sebagai satu-satunya anak-anak, tentu aku adalah
sasaran empuk untuk dijadikan objek candaan para tentara. Tetapi aku nikmati
saja, toh mereka tak akan berani bertingkah macam-macam. Ada pak Wira di
belakangku, salah seorang perwira penting di markas itu. Setiap ejekan dan
cemooh dari mulut mereka cukup aku jawab dengan kalimat andalanku, “Awas kamu
kalau nanti aku jadi jenderal!”. Ha…ha…ha…. Oleh sebab itulah para tentara kemudian
mengolok-olok aku dengan panggilan Jenderal. Aku juga sering diolok-olok sebagai
jenderal ketik. Atau paling mentok ya jenderal kacung, alias jenderal babu.
Tetapi lebih sering dipanggil jenderal saja. “Hei.. Jenderal. (MENGEPRET KETIAK) Mau gula-gula asem? Ini,
ambil sendiri”. Yah, Begitulah aku. Satu-satunya yang dipanggil jenderal di
barak itu.
87)
(MENGETIK
LAGI, SEKARANG LEBIH CEPAT) Aku
semakin mahir mengetik sepuluh jari dengan sangat cepat tanpa sedikitpun melihat
letak tombol huruf dan angka di mesin ketik. Jemariku lincah menari di
tombol-tombol tuts seperti kuda pacu di arena balap. Kata teh Entin kecepatanku
mengetik rata-rata selesai enam menit saja setiap satu lembar kertas folio dengan
spasi tunggal, dan pastilah hasilnya tergolong sangat rapi.
88)
Tetapi tak banyak orang tahu, bahwa sebenarnya
aku tidak pernah tahu apa isi semua hasil ketikanku. Yang aku tahu, aku hanya
memindahkan huruf-huruf di lembar kertas bertulisan tangan ke lembar kertas di
mesin ketik. Ya, begitu. Aku hanya memindahkan huruf demi huruf saja tanpa
pernah mengerti hal apa isi semua kertas yang sudah aku tulis dengan mesin ketik.
Yang aku tahu, semua orang kagum atas hasil ketikanku yang rapi, hampir tanpa
cacat, dan super cepat.
89)
Semua itu karena teh Entin. (BERHENTI MENGETIK) Ya, jujur saja
kulakukan semua demi teh Entin. Karena diam-diam aku suka padanya. Aku suka
karena teh Entin suka mencium pipiku, aku suka karena cubitan kecil di
pinggangku senikmat sambal terasi bikinan Simbok dulu. Aku suka karena teh
Entin membolehkan aku mencium pipinya yang ranum. Aku dibolehkan bermanja tidur
di pangkuannya, aku dibolehkan menghirup harum ketiaknya. Aku boleh memeluknya.
Boleh mengelus putting teteknya.
90)
Teh Entin baik dan sayang padaku. Aku juga
sayang sekali padanya. Aku merasa damai dipeluknya. Aku sedih kalau dia menangis.
Aku tak ingin dia marah, aku tak ingin Teteh kecewa karena aku. Berada di
dekatnya serasa di bawah rindang pohon surgawi. Aku tidak ingin kehilangan. Aku
ingin bersamanya selamanya. Aku lebih nyaman bersama teh Entin sebagai seorang
anak kecil yang manja, dari pada menjadi jenderalnya tentara-tentara di barak
itu.
VI.
VI. TJUNG MILIK PARTAI
91)
Suatu hari, pak Wira memerintah aku untuk
mengetik sebuah surat di kamar kami. Secepat kilat rampung kupindahkan tulisan
tangan pak Wira ke kertas di mesin ketikku. Kubuat rangkap tiga seperti
perintahnya. Kemudian dibacanya, manggut-manggut, lalu dibubuhkan teken di atas
namanya. Satu-satunya deretan huruf yang paling ku hapal selain huruf-huruf
namaku sendiri. Wira Irawan.
Dibacanya lagi surat itu. Satu lembar tindasan dilipat dua diletakkan di atas
meja. Dua lembar diberikan kepadaku.
92)
“Ini Tjung. Satu untuk kamu, satu berikan pada
Entin besok pagi.”
93)
“Untuk saya? Untuk apa Pak?”
94)
“Kamu tidak tahu? Itu surat perintah untuk
kamu dan Entin. Bacalah, ada namamu di situ.”
95) Iya Pak, tahu. Ada nama saya di sini. Saya
yang mengetiknya. Tapi apa maksud surat perintah ini Pak? Kenapa saya dapat
satu?”
96)
“Bacalah dulu. Jangan Tanya melulu!”
97)
Maaf Pak. Saya belum bisa baca.”
98)
“Apa? Kamu belum bisa baca? Tapi kamu bisa ngetik
kan?”
99)
Saya Pak. Saya hanya bisa ngetik saja. Tidak bisa
baca.”
100)
“Hah..?!? Mana bisa begitu? Apa Entin tidak
mengajari kamu baca?”
101)
Tidak pernah Pak. Hanya diajari ngetik saja.
102) ((MENGGEBRAK) “Bagaimana si Entin ini? Bikin malu saja.
Brengsek..!! Sini Tjung. Kembalikan pada saya kertas-kertas itu. Cepat…!!”
103)
Aku takut sekali, baru kali itu pak Wira marah
besar di depanku. Seluruh tubuhku gemetar. Aku berikan dua ketas itu. Dirobek-robeknya
tiga kertas sekaligus. Diambilnya lagi satu kertas kosong, ia tulis dengan
pulpen, diteken besar-besar. Dilipat empat. Lalu dilemparkan ke wajahku. Ah…!
Hantaman kertas di wajahku seperti palu Godam, hampir saja menggoyahkan kedua
kakiku yang berdiri kaku.
104) (MENGGEBRAK)
“Ambil
kertas itu. Bawa, berikan pada Entin sekarang juga. Cepat..! Ini perintah..!! (MENGGEBRAK LAGI)
105)
Jiwaku serasa dilempar jauh ke udara. Aku
berlari tersandung-sandung menuju rumah teh Entin. Seluruh tubuhku seperti hilang
rasa. Aku berlari secepat aku bisa supaya bisa secepatnya sampai. (LEMAS) Pintu rumah teh Entin terkunci.
Pintu itu aku gedor-gedor sambil berteriak memanggil-manggil. Tetapi teriakku
sudah kehilangan tenaga. Teh….Teteh…. Teh…. buka…. Teteh…. Buka Teh…..(MEMANGGIL BERULANG ULANG. SEMAKIN DIULANG
SEMAKIN HILANG SUARA)
106) Aku lemas di depan pintu. Tubuhku melorot
jatuh terjongkok menghadap pintu, seluruh tubuhku lunglai dan gemetar. tangan
kiriku menopang menjaga keseimbangan tubuhku. Tangan kananku memegang kertas
mengacung ke pintu. Lebih kurang
dua-tiga menit aku seperti itu di depan pintu. Akhirnya yang kuharap pun tiba.
Pintu itu terbuka dari dalam. Teh Entin menjerit melihatku.
107)
“Iiihh…..Tjung….! kamu kenapa? Apa yang sudah
terjadi sampai kamu seperti ini?”
108) Penuh rasa cemas teh Entin meloncat turun
mencapaiku. Diangkatnya tubuhku, dipapah naik masuk ke rumah. Aku dibawa duduk
di kursi, kedua tangannya erat memelukku. Tubuhku masih bergetar di dekapan.
Napasku berat tersengal-sengal. Tubuhku lengket di dalam pelukannya yang
hangat.
(BERGAYA SELENGEKAN) Lumayan,
sedikit memberiku rasa nyaman. Xi..xii..xiii… (TERSENYUM SIMPUL DAN BERINGSUT SEDIKIT, MEMELUK SAMBIL MEMANTAPKAN
RASA NYAMAN. LALU SEDIH DAN NAPASNYA TERSENGAL-SENGAL) Teteh….tolong…. tolong aku teh……
109)
(KEPADA
PENONTON) Oh,
maaf. Sebentar. Mohon ijin ‘cut’ sebentar saja. Nanti akan saya lanjut lagi
mengulang dari adegan yang ini sampai selesai. Saya hanya ingin menyampaikan
sesuatu kepada seseorang. Jadi mohon ijin sebentar saja. Terima kasih.
110) (SETENGAH
BERBISIK SETENGAH BERTERIAK. NADA SUARANYA SEDIKIT MENINGGI) Sutradara…! Sutradara…! Mana perempuannya? Aku
masih kesulitan di adegan yang ini. Sutradara…! Interupsi…, mana perempuan yang
kemarin itu? Kenapa sekarang tidak ada di sini? Hooee…. Sutradara…. Hoeaeo…
Sutradara…
TOKOH
KITA CELINGAK-CELINGUK, MATANYA MENYAPU KE SEGALA PENJURU. MULUTNYA TERUS
MEMANGGIL. YANG DIPANGGIL AKHIRNYA MUNCUL DARI PENONTON. ~ SILHUET LIGHT STAGE’S ~
SUTRADARA
BERJALAN MARAH MENUJU STAGE SAMBIL MENGUMPAT-UMPAT KECIL.
111)
STRDR : (MEMBANTING
KERAS TOPINYA) Apa-apan kamu ini? Memalukan.
Ini pertunjukan sungguhan, bukan gladi.
112)
AKTOR : Iya, tahu. Tapi mana perempuan yang
kemarin? Kok tidak disini?
113) STRDR : Kan sudah aku bilang berkali-kali, pada
hari pertunjukan tidak pakai peraga perempuan sungguhan.
114) AKTOR : Tapi yang ini nuansa tragisnya terlalu
realis. Aku kesulitan memainkan adegan kalau perempuannya cuma imajiner. Aduuhh….
Bos. Jelek…bos…jelek…..
TOKOH
KITA MENGAMBIL BOTOL AIR MINERAL DARI TANGAN SUTRADARA, MEMINUMNYA DUA-TIGA
TEGUK)
115) STRDR : Brengsek…! Aku pastikan sekali lagi,
kali ini tidak ada peraga perempuan sungguhan untuk kamu peluk. Kamu mainkan
saja adegannya semaksimal mungkin. Tugasmu hanya akting. Jangan rewel, patuhi saja
konsepnya. Tugas pokokmu mengeksekusi adegannya. Huuhh…! (MENYAUT BOTOL AIRNYA DARI TANGAN AKTOR)
116)
AKTOR : Tapi masa nggak bisa….
117)
STRDR : (MELEDAK) Cukup..!! Pokoknya kalau kamu tidak mau
memainkan adegan ini, lebih baik pertunjukan ini sudah stop sampai di sini. Dan
aku tidak akan pernah lagi memainkanmu sampai kapanpun. Kita putus hubungan.
Selamanya..!!
118)
AKTOR : Eh… jangan bos. Okelah bos, lanjut. (MEMELAS) Tapi adegan yang ini dilewati saja
ya bos, langsung ke adegan berikutnya saja.
119)
STRDR : (MENDIDIH)
Tidak bisa..!! Tetap harus dimainkan. Atau..
120)
AKTOR : Oke bos…oke bos…mainkan…mainkan… (BERLARI KEMBALI KE POSISI)
121)
STRDR : (KEPADA
PENONTON. AGAK GUGUP BERCAMPUR MALU) Maaf para penonton yang budiman, barusan tadi
terjadi sedikit error pada pertunjukan ini. Kami mohon sudilah kiranya
dimaafkan. Adegan demi adegan akan kami lanjutkan. Durasi pertunjukan ini masih
tersisa cukup panjang. Kira-kira masih ada satu jam, lebih kurang. Jadi mohon
tetap bersabar untuk menikmati kembali lanjutan pertunjukan MONOLOG balada
TJUNG ini. Tetapi jika ada penonton yang ingin undur diri oleh sebab alasan
tertentu, Anda masih bisa menuntaskan sendiri cerita ini secara mandiri di
rumah. Kami menyediakan teks manual berupa buku/hard copy naskah, cukup dengan
mengganti ongkos cetak sebesar ……………… rupiah saja. Tak lupa juga kami ucapkan terima
kasih bagi penonton yang masih betah bersama-sama kami di sini, kami sampaikan penghargaan
yang setinggi-tinginya, dan : SELAMAT MENYAKSIKAN - SELAMAT MENIKMATI.
SUTRADARA
MEMUNGUT TOPINYA – MENINGGALKAN STAGE – MEMBUNYIKAN TANDA PERTUNJUKAN DI MULAI.
TOKOH KITA PUN SUDAH BERSIAP MELANJUTKAN ADEGANNYA.
~
FADE IN ~
122) Tubuhku masih gemetar di dekapan teh Entin.
Napasku masih berat tersengal-sengal. Wajahku kutelisipkan di sudut ketiaknya.
Aroma ketiak yang wangi kuharap dapat melonggarkan napasku. Kulingkarkan
tanganku di belakang leherku, menyodorkan lipatan surat. Teh Entin memungutnya
dari tanganku. Aku mendengar suara lipatan kertas dibuka. Kuberanikan mengintip
sedikit dari sudut ketiaknya.
123)
(MEMBACA
SURAT - MEREMAS KERTAS - MENAHAN GERAM) “Apa-apaan ini.
Berani-beraninya dia berbuat kurang ajar padaku. Awas kamu ya. (BERUBAH LEMBUT) Sudah ya Tjung, kamu tidak usah takut. Ada
Teteh di sini. Ini, minumlah dulu. Ayo, sedikit saja juga boleh.”
124)
(LENGKET
MENEMPEL MANJA DALAM PELUKAN) Itulah aku dalam pelukan teh Entin. Dia
mendekapku erat tetapi leembuut….. dan aku menggesek-gesekkan pipiku menyapu
dadanya, hidungku ingin menghirup seluruh wangi tubuhnya. Kata-kata lembut dari
bibir teh Entin terus berusaha menghapus luka hatiku. Aku cium-cium juga kulit
lehernya yang halus dan jenjang. Aku seperti anak kucing, mengendus-endus,
menjilat-jilat, dan teh Entin membiarkan saja aku melakukan padanya. Dekapannya
semakin menghangat. Kepalaku, wajahku, punggungku, lenganku, pahaku,
dielus-elusnya dengan lembut. Aku serasa bayi mungil terayun dalam buaian.
Kedua mataku terasa berat, aku mulai mengantuk. Kepalaku terjatuh di
pangkuannya. Hatiku mulai merasa tenang dan tenteram.
125) Baru saja aku merasa nyaman dipangkuan,
tiba-tiba telingaku mendengar suara langkah sepatu di halaman. Jantungku
kembali berdegub kencang. Betapa tidak? Aku sangat kenal irama langkah itu. Kubuka
mata kananku sedikit. Kuarahkan pandanganku ke pintu yang terbuka. Aku melihat
bayangan hitam mendekat ke pintu. Aku pejamkan kembali mataku, rasa takut
datang lagi padaku. Aku berkata dalam hati, tenang…, tenang…, tidak apa,
tenang…., pasrah saja kepada teh Entin. Iya, begitu. Aku memutuskan diam dan
menyerahkan nasib kepada teh Entin. Jelas sekali kudengar langkah sepatu
berhenti persis di mulut pintu. Kemudian sunyi sejenak.
126)
“Masuk. Duduk sini.” Suara teh Entin memecah
sunyi. “Maaf, saya kemari untuk minta maaf.” Suara pak Wira yang sangat
kukenal. “Minta maaf? Kepada Siapa? Untuk apa?” Suara teh Entin ketus. “Kepada
kamu. Terutama kepada Tjung.” Hatiku bergetar mendengar namaku disebut pak
Wira. (BANGKIT DARI PANGKUAN. DUDUK) Tenteram
rasanya saat itu mendengar suara lembut dan kalem keluar dari mulut pak Wira. (TERKEKEH) Xii…xii..xi… Ternyata bisa lembut juga suara
pak Mayor. Baru kali itu aku tahu. Xii…xii..xi…. Yahh….namanya tentara juga
manusia. Ha…ha…ha…ha…
127)
Aku masih diam dipangkuan teh Entin. Tidak ada
keberanian untuk bergerak atau membuka mata. Aku mencoba mengatur napasku
supaya getaran dadaku berkurang. Selebihnya, aku mencoba pura-pura tidur. Pak Wira dan teh Entin terlibat perdebatan yang
tidak aku mengerti sepenuhnya. Tidak banyak yang bisa aku ingat.
129)
“Kamu apakan anak ini?”, tanya Teteh.
130)
“Ah, hanya marah biasa”, jawab pak Wira.
131)
“Marah biasa? Atas alasan sepele ini? (MENUNJUKKAN SURAT YANG SUDAH KUSUT) Mana bisa, marah biasa sampai membuat anak ini
seperti ini. Aku temukan anak ini lemas pucat pasi, jongkok gemetaran di depan
pintu. Mana mungkin cuma marah biasa.”
132)
“Saya tidak marah pada Tjung”
133)
“Marah padaku?”
134)
“Iya”.
135)
“Karena Tjung belum bisa baca?”
136)
“Iya”.
137)
“Terus kenapa kalau belum bisa baca?”
138)
“Aku…. Emm.. maksudku…”
139)
“Ngomong yang jelas. Ayo ngomong”.
140)
“Saya hanya tidak habis pikir. Mana mungkin
seorang anak yang sudah mahir ngetik, tapi belum bisa baca sama sekali. Tidak
masuk akal”.
141)
“Oo…gitu? Kawan Wira. Kamu ini bukan orang
kemarin sore yang sama sekali jauh dari pendidikan Partai. Kemana otak
cemerlangmu yang dulu? Agaknya seragam tentaramu itu sudah menjadikan kamu
orang bodoh. Lupa pada tujuan semula kenapa kami pilihkan kamu masuk ke
militer. Menyesal aku sekarang. Sebaiknya kamu keluar saja dari kemiliteran. Kembali
ke Partai saja seperti dulu agar ketololanmu bisa diperbaiki”.
142)
“Kawan Entin. Mohon jangan marah dulu”.
143)
“Mohon? Sekarang ada kata mohon di mulutmu.
Kamus dari mana? Sejak kapan Partai mengajari kamu memohon-mohon pada kawan
seperjuangan?”
144)
(MEMBENTAK
LIRIH) “Saya
hanya ingin Tjung bisa jadi orang kelak. Mana bisa jadi orang, kalau baca tulis
saja tidak bisa”.
145)
“Oh ya? Baik. Kalau kamu ingin Tjung jadi
orang, sekarang juga serahkan sepenuhnya padaku. Akan kusiapkan baik-baik. Aku
berani jamin, Tjung akan jadi orang hebat kelak. Dan aku memang sedang mulai
menyiapkannya untuk menjadi kader yang bisa diandalkan Partai di masa kedepan.
Ngerti kamu?”
146)
“Tidak, tidak bisa. Saya akan siapkan dia jadi
tentara.”
147)
“Jadi tentara bego seperti kamu? Iya? Dengar
kawan Wira, anak ini memiliki bakat yang luarbiasa. Aku saja bisa melihatnya
hanya dari perjumpaan pertama. Masa kamu tidak? Tjung anak yang pintar, cerdas,
tekatnya kuat. Sayang masa lalunya salah tempat, hidup di keluarga yang salah.
Tapi aku yakin bisa memperbaiki semuanya. Dan sudah aku buktikan. Kamu sudah
lihat hasilnya bukan? Ini baru permulaan kawan.”
148)
“Ya, saya lihat. Tapi saya sudah berjanji pada
Tjung. Kelak akan saya masukkan di dunia militer. Itulah kenapa saya bawa dia
dan saya ajak dia hidup di barak. Biar Tjung mengenal dunia militer sejak awal
umur.”
149)
“Tidak. Tjung tidak boleh masuk militer. Aku akan
siapkan dia untuk tugas yang lebih penting dari jabatan apapun di kemiliteran.
Kawan Wira, aku sekarang bicara atas nama Partai. Sejak sekarang Tjung
kujadikan asset Partai.”
150)
“Tidak boleh. Tjung milik saya. Saya sayang
pada Tjung.”
151)
“Oo.., sayang ya? Sejak kapan kamu peduli rasa
sayang? Ingat-ingat kawan, dulu malam-malam kamu dengan bengis melempar keluar orok
yang baru kulahirkan di dalam gerbong kereta yang sedang melaju cepat untuk
mengujiku apakah aku lebih sayang bayiku ataukah lebih loyal pada Partai. Pasti
kamu masih ingat.”
152)
‘Iya, Saya ingat semuanya. Saya ingat bagaimana
suara orok merah itu menangis keras saat sayalempar keluar. Bahkan bunyi orok itu jatuh
terhempas. Saya ingat semua detailnya. Lalu kenapa? Kamu dendam?”
153)
“Huh, apa pula guna mendendam? Demi loyalitas
pada Partai, kehilangan orok cuma soal sepele saja. Partai butuh pengorbanan
lebih besar dari itu. Partai sudah mengajariku dengan sangat baik. Rupanya
tidak pada dirimu. Dengar baik-baik, detik ini juga Tjung aku putuskan jadi
milik Partai, demi kejayaan masa depan Partai. Selesai. Sekarang kamu bisa apa?”
154)
Ooh….Gusti Pengeran… apa yang baru aku dengar
ini? Mereka bicara soal melempar orok dari kereta malam yang sedang melaju.
Dada ini seperti ingin meledak saja. Mungkinkah orok yang dilempar itu aku?
Bukankah Pak-e dan Simbok dulu menemukan aku sebagai orok merah yang menangis
dan terluka saat tengah malam di dekat rel kereta? Kepala dan tubuhku meradang
seketika. Aku ingin bangkit dari tidur pura-puraku. Tetapi telapak tangan Teteh
yang menekan kepalaku di pangkuannya menghalangi niatku.
155)
“Bagaimana kawan Wira?”
156)
“Apa boleh buat…saya menyerah kalah.”
157)
“Kalau begitu, mulai sekarang juga Tjung sudah
jadi milik Partai. Kirimkan semua barang-barang Tjung kemari. Kawan Wira sudah
tidak punya hak lagi atas anak ini. Tetapi kawan Wira harus tetap sering
mengunjungi Tjung. Agar rahasia ini tetap terjaga baik-baik. Aku harap kawan
Wira mengerti.”
158)
Ya, saya mengerti kawan Entin.”
159)
Kurang lebih demikian yang masih bisa aku
ingat. Mulai saat itu aku berpindah asuhan. Aku tidak lagi hidup di dalam
markas militer. Sekitar dua minggu kemudian pak Wira datang menjengukku untuk
berpamitan, karena mendapat perintah pindah tugas ke ibu kota. Entahlah, aku
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti sejak itu aku tak pernah
lagi dikunjungi Mayor Wira. Entah juga, aku tak merasa sedih sama sekali. Tidak
seperti ketika aku pergi dari Pak-e dan Simbok dulu.
VII. VII. KEJUTAN-KEJUTAN ENTIN
160)
Hari-hariku berikutnya lebih bahagia di rumah
Teteh. Kami hanya berdua saja di rumah itu. Tak ada orang lain. Paling-paling
sesekali ada tamu jauh berkunjung. Ada yang datang dari Sumatera, Bali,
Makasar, paling sering datang dari Jawa dan sekitaran Jakarta. Rata-rata hanya
sebentar, tak sampai sejam sudah pamit pergi. Tak pernah ada yang menginap
meskipun kadang-kadang datang bertamu sudah larut malam. Aku tak pernah tahu
apa yang mereka bicarakan. Teteh sangat melarangku untuk bertemu setiap tamu
yang datang, kecuali tamu dari tetanga dekat.
161)
Teteh bukanlah orang yang tertutup. Teteh
rajin berkunjung ke tetangga. Teteh orang yang ramah pada siapa saja, orang
yang menyenangkan dan berpengetahuan luas. Banyak orang hormat dan segan pada
Teteh. Sebulan sekali para tetangga diajak kumpul-kumpul di rumah. Semua
tetangga juga sudah mengenalku sebagai anak perwira tentara yang dititipkan
pada Teteh. Apalagi ketika banyak orang tahu kalau aku ini juru ketik yang
super mahir, namaku menjadi sangat dikenal orang sekampung.
162)
Ah….iya…..ada yang hampir terlewat. Untung
saja aku ingat. (TERSENYUM TERSIPU.
SIKAPNYA MENJADI ANEH) Sebenarnya
saya malu sekali. Tetapi ini awal penting juga di dalam kisah hidup saya. Saat
pertama perjumpaanku dengan Teteh untuk belajar ngetik dulu, hari pertama aku
sekolah ngetik pada Teteh, yang kami lakukan hanya ngobrol-ngobrol berdua saja
dari pagi sampai sore. Tidak ada pelajaran ngetik hari itu. Hari dimana aku
mendapat kejutan-kejutan dari Teteh. Sebelumnya aku tidak pernah menceritakan
ini kepada siapapun. Bahkan kepada pak Wira. Betul. Saya tidak bohong. Baru
kali ini aku akan ceritakan ini. Tapi maaf jika tidak semuanya. Pokoknya hanya
yang aku anggap berkesan sajalah.
163)
Setelah pak Wira pergi usai mengantarku, Teteh
langsung menutup pintu dan jendela rumah rapat-rapat. Kemudian Teteh berkata :
“Tjung. Namamu Tjung, iya kan?” Aku yang terdiam kaku di kursi hanya jawab
mengangguk saja. Kemudian Teteh melanjutkan : “Kamu tahu kenapa aku tutup semua
pintu dan jendela?” aku jawab menggeleng lagi. Keringatku mulai merembes lagi.
Bayangan cerita tentang makhluk guru yang galak mulai menghantui otakku.
- “Tjung,
kamu ini laki-laki kan?” Aku jawab mengangguk lagi.
- “Kamu
yakin kalau kamu ini laki-laki?” Aku mengangguk lagi.
- “Kamu
kok yakin? Kamu tahu cara membedakan anak laki-laki dan perempuan?” Kali ini
aku diam.
- “Tjung
tidak tahu beda anak laki-laki dan perempuan?” Aku jawab mengangguk.
- “Apa
yang membedakan?” Kali ini aku diam lagi meski aku yakin bisa menjawab.
- “Kok
diam? Ayo dijawab Tjung.”
164)
Ha…ha….ha….. Coba bayangkan, usiaku 12 tahun.
Perjumpaan dengan Teteh belum sepuluh menit. Aku sudah dibombardir dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ha…ha…ha….. padahal kami belum saling kenal
betul. Mudah dibayangkan, seperti apa diriku pada saat itu? Belum lagi
pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Bagaimana manusia bisa ada laki dan
perempuan, padahal cara menjadikannya tidak berbeda? Siapa yang punya hak untuk
menjadikan manusia jadi laki atau jadi perempuan? Untuk apa ada laki-laki dan
ada perempuan? Kenapa kebanyakan orang membedakan cara memperlakukan antara
anak lelaki dan perempuan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain soal laki-laki dan
perempuan. Alamaak…! Semua pertanyaan ini membuat aku bingung dan kaget. Aku
ini mau diajari ngetik apa mau dicekoki pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti itu?
Ha….ha…ha…. kujawab saja dengan mengangguk dan menggeleng. Tak satupun suara
keluar dari mulutku.
165)
Itu kejutan pertama. Sekarang kejutan yang
kedua. Masih di hari yang pertama.
- Teteh
bertanya lagi : “Usiamu 12 tahun kan? Tjung sudah khitan?” Kujawab mengangguk
lagi.
- “Kapan
Tjung Khitan?” Nah, pertanyaan kali ini musti kujawab dengan suara.
- Kata
Simbok sewaktu umur 2 tahun. Jawabku
lirih saja.
- “Oh
ya? Baru umur 2 tahun kamu sudah khitan? Tega bener. Siapa orang yang tega mengkhitan
kamu?” Kali ini kujawab singkat saja “JIN”.
- “Hah?
Apa? Jin katamu? Simbokmu bilang kamu dikhitan jin?”
- Kata
Pak-e begitu. Jawabku meyakinkan.
- “Masa?
Ah, yang bener. Gimana ceritanya?”
- Kata
Simbok, pas mandi sore masih utuh. Tahu-tahu paginya pas mandi sudah khitan.
Terus kata Pak-e saya dikhitan jin pas malam hari.
166)
Mendengar ceritaku, Teteh bengong tak percaya.
Dipandanginya aku dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Diulang lagi
berkali-kali. Terus aku ditarik dari kursi disuruh berdiri. Aku berdiri, malah
Teteh yang jongkok di depanku. Di tariknya celanaku mendekat. Lalu kancing
celanaku mau dibuka. Aku menolak, aku pertahankan celanaku. Jangan, jangan Bu
guru. Jangan dibuka. Tetapi terus dipaksa. Tanganku digigit. Curang…, tanganku
lepas. Dasar curang. Kancing dibuka paksa, celanaku diplorot sampai bawah
lutut. Aku menangis. Kututupi pakai kedua tanganku. “Buka Tjung, aku pingin
lihat.” Hardiknya memaksa. Aku didorong sampai jatuh telentang di meja. Kedua
tanganku di pegang kuat-kuat sampai sakit rasanya. Kedua kakiku dikempit
kakinya rapat-rapat. Tagisku semakin keras. Aku tarik lepas tanganku. Sambil
menangis aku menutup wajahku. Aku malu, sangat malu. (DUDUK DARI REBAH) Hatiku sakit. Benci rasanya diperlakukan
seperti itu.
167)
(MENJADI
ENTIN. MENELITI DENGAN SEKSAMA) “Jadi
ini kerjaan jin? Masa iya sih? Rapih amat. Sepertinya memang hasilnya beda sama
hasil kerjaan manusia. Bagus ini Tjung. Kok bisa hasilnya sebegini bagus ya?
Eehh… sudah mulai ada bulu rupanya. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Pas 12
bulu. Bulunya sudah dua belas Tjung, cocok dengan umurmu. Sudah waktunya kamu
pakai cawat. Nanti bilang sama pak Wira, minta dibelikan cawat. Sudah jangan
nangis. Betulkan lagi celanamu.”
168)
Itu kejutan yang paling kuingat sepanjang
hidup. Sangat membikin aku malu sekaligus dongkol setengah mati. (MEMUTAR)
Aku membetulkan celana memunggungi Teteh. Karena terbawa hati
dongkol dan marah kubenarkan kancing-kancing itu dengan kasar. Celakanya salah
satu kancing susah sekali dibenarkan. Terpaksa aku cari cara supaya lekas
benar. Kubenarkan kancing itu lewat katong dalam sakuku yang memang berlubang
persis dekat dengan kancing yang susah dibenarkan.
169)
Ahh….apa ini yang pecah? Aaaa…..telurku pecah.
Aduuh….. bagaimana ini? (MEMUTAR
MENGHADAP PENONTON. MENGELUARKAN CANGKANG TELUR YANG REMUK DARI DALAM SAKU
CELANA) Nah… bener kan, telurku
pecah. Untung ini cuma cangkang kosong. Coba kalau tidak? Lho? Kok ada
semutnya? Aduh…, banyak sekali semutnya. Bajinguk…! Rupanya kalian suka
bersarang di dalam telurku.
MEMBANTING
CANGKANG, MENGIBAS-NGIBAS SEMUT-SEMUT YANG MERAYAPI TANGANNYA. SELESAI TANGAN,
GILIRAN DI DALAM CELANA. BELINGSATAN IA SAMBIL MENGUMPAT-UMPAT TAK KARUAN.
CELINGUKAN IA MENCARI TEMPAT AMAN. PANDANGANNYA TERTUJU KE SUMUR.
BERLARI
IA KE SUMUR. KAKI DAN PANTATNYA
BERJENGKELITAN. SESAMPAI DI TEPI SUMUR SELEKASNYA MELOMPAT MASUK SUMUR. SLAAPP….!!
TOKOH KITA LENYAP DI TELAN SUMUR. JERITAN DAN UMPATANNYA TERUS TERDENGAR DARI
DALAM SUMUR. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, TOKOH KITA NONGOL SEBATAS DADA. DADANYA
SUDAH TELANJANG. EKSPRESINYA DAN TINGKAHNYA MASIH BELINGSATAN, DISIBUKKAN OLEH
SEMUT-SEMUT YANG MASIH MERAYAPI DAN MENGGIGIT-GIGIT DI SELINGKAR PINGGUL DAN
PANTAT.
170)
(SAMBIL
BELINGSATAN DAN SESEKALI MENGUMPAT SETIAP TERASA GIGITAN SEMUT) Banyak orang masih mengira
sumur ini sumur dalam dan angker. Tidak. Menurut penuturan pemilik lama, sumur
ini tidak angker. Hanya saja ada cerita aneh tentang sumur mati ini. Sumur ini
dulu ceritanya tiba-tiba saja mendangkal sendiri hanya dalam waktu semalam saja.
Dulunya air sumur ini sangat kelimpahan air, begitu ceritanya. Setiap musim
kemarau seluruh kampung sangat mengandalkan sumur ini. Airnya selalu cukup
untuk semua orang. Kejadian pendangkalan yang terjadi tiba-tiba dalam semalam dulu
itu dibarengi dengan suara-suara jeritan yang mengerikan dan hujan yang turun
sangat lebat disertai petir sambar-menyambar.
171)
(MENGAMBIL
GALAH, MENGGAYUH BEBERAPA PAKAIAN DI JEMURAN DENGAN GALAH) Kejadian aneh yang terjadi dalam semalam itu sudah
puluhan tahun disimpan rapat-rapat. (MENGHILANG
DI SUMUR. DARI DALAM IA BERTERIAK :) Tapi bagi orang yang mau sedikit
menengok sejarah bangsa ini, pasti akan mudah menebak apa yang sebenarnya
terjadi di sumur ini pada malam hujan petir itu.
TOKOH
KITA MUNCUL KEMBALI SAMBIL MENGENAKAN KAOS. MELONCAT DI BIBIR SUMUR, BERDIRI
DAN MELEMPAR SERAMPANGAN PAKAIAN YANG TADI BERSEMUT SEJAUH IA BISA. MELOMPAT
TURUN. MEMBENAR-BENARKAN PAKAIANNYA SEBENTAR, KEMUDIAN MENUJU TENGAH STAGE.
172)
Baiklah, kita kembali lagi ke Teteh Entin
lagi. Kejutan yang ketiga. Seharian pada hari pertama perjumpaanku di rumahnya
yang tertutup rapat itu, Teteh benar-benar mengajariku mengenali semua
ciri-ciri dasar yang membedakan antara lelaki dan perempuan. Di rumah itu, si Teteh
mengajakku telanjang bulat bersama. Ia tunjukkan setiap detail perbedaannya. Ia
jelaskan berulang-ulang untuk memastikan aku benar-benar paham dan mengerti
semua penjelasanya. Kesimpulannya sangat sederhana, yang membedakan keduanya
hanya pada alat reproduksinya saja. Selebihnya sama persis. Oleh karena itu,
lelaki dan perempuan harus didudukkan setara baik hak maupun kewajibannya.
Saling menghormati, saling melengkapi, saling mengisi, saling tolong-menolong,
saling menyayangi, sama rata-sama rasa. Sungguh pengalaman baru yang luar biasa
bagiku.
173)
Itu kejutan-kejutan di hari pertama perjumpaan
yang kudapat dari Teteh. Masih banyak kejutan lain sesudahnya. Tetapi terlalu
panjang untuk diceritakan. Baiklah, aku ceritakan kejutan yang paling akhir
saja biar menyingkat waktu.
174)
Kejutan paling akhir dari Teteh Entin adalah
memberi kesempatan terakhir padaku menjadi lelaki sejati berhadapan dengan
seorang wanita sejati. Setidaknya itu yang masih aku ingat hingga sekarang.
Sebab kata Teteh jika nantinya aku berhasil lulus seleksi masuk Sekolah Khas Partai
di tahun depan aku bakal tak pernah bisa mengalaminya lagi. Usiaku saat itu
sudah enam belas tahunan.
175)
Setahun penuh, kurang lebih, aku dan Teteh,
berdua mengarungi lautan madu surgawi sebagaimana lumrahnya lelaki dan
perempuan sebagai makhluk yang sewajarnya tidak berhak menolak hasrat
alamiahnya. Mula-mula Teteh dengan telaten mengajariku beserta semua cara dan
tehniknya. Hari-hari kemudian kami bisa saling memahami cara mencapai
kenikmatan penuh. Sampai sekarang aku masih hafal letak titik-titik spot yang
ada di tubuh Teteh. Sebaliknya Teteh pun demikian, hapal diluar kepala. Kami
melakukannya kapan saja dan di mana saja kami mau, tetapi tak pernah melakukan
di luaran, sekali pun tidak. Tidak ada aturan khusus yang kami buat berdua,
kecuali dua butir ikrar bersama bahwa tidak boleh ada paksaan atau rasa
terpaksa sama sekali. Juga satu hal yang paling pantang kami langgar, yaitu : tidak boleh ada cinta
setitik pun terhadap satu sama lain di dalam hati kami berdua. Dengan begitu
kenikmatan total selalu berhasil kami rengkuh bersama-sama.
176)
Tak terasa, waktu dan keadaan harus memisahkan
kami. Bukan perpisahan yang menyedihkan hati. Tidak sama sekali. Tetapi
perpisahan yang membahagiakan kami berdua, sebab aku berhasil lolos seleksi
masuk Sekolah Khas Partai menyisihkan ratusan orang pesaing. Kami tidak
bersedih sama sekali, karena kami sudah tahu, bahwa dengan demikian sudah bisa
dipastikan kami tak akan pernah lagi bertemu selamanya.
177)
Maaf jikalau yang terakhir tadi kurang mengejutkan
bagi anda. Tetapi bagiku itu sangat mengejutkanku. Keterkejutan yang sangat
terlambat setelah aku sukses menamatkan sekolahku setahun kemudian. Bagaimana
Teteh bisa tahu tentang semua itu. Timbul pertanyaan satu lagi dalam otakku, apakah
mungkin Teteh juga alumni Sekolah Khas Partai? Pertanyaan sia-sia sebenarnya,
sebab sesiapapun tak mungkin bisa menjawab.
178)
Ya, begitulah sebenarnya yang terjadi.
Sungguh, aku tidak berbohong sama sekali. Percuma juga aku berbohong. Untuk
apa? Partai sudah hacur lebur, dan Teteh Entin sudah lenyap dari hidupku
selamanya. Aku sendiri sudah semakin tua, tinggal menunggu takdir yang
terakhir. Tidak, tidak, ya Tuhan… seharusnya sekarang hidupku sudah berakhir.
~
BLACK OUT ~
VIII. MALAMNYA MALAM
FADE IN : TOKOH
KITA MEREBAHKAN DIRI DI GEROBAK SORONG. KEPALANYA TERJUNTAI. KEDUA KAKINYA
MENYATU DENGAN DUA LENGAN GEROBAG.
179)
Sudah malam sangat rupanya. Berarti sudah
berjam-jam aku di halaman belakang rumah yang sepi sunyi ini. Ah, peduli amat.
Aku masih ingin di sini sampai aku sendiri bosan menikmati kebosananku sendiri
pada hari ini.
180)
Waktu memang berjalan cepat. Kadang-kadang
kita harus kecewa karena waktu melintas lebih cepat dari angan-angan tanpa
peduli sedikitpun pada kita yang tertinggal jauh di belakang. Kadang waktu juga
dengan sabar menunggu kita di sebuah tempat nun jauh di sana tanpa pernah kita
duga sebelumnya, untuk memberi sinyal bahwa selalu masih tersedia harapan meski
itu satu-satunya harapan yang tersisa. Menjadi jelas, betapa bodohnya manusia
yang bersedia pasrah begitu saja hatinya dihinggapi rasa putus asa.
181)
Kadang-kadang kita harus ditempa secara
ekstrim untuk menjadi manusia yang mengenal bahwa diri kita sendiri adalah
memang hanya manusia, ataupun capaian-capaian penting lainnya di dalam perjalan
hidupnya. Seperti aku sendiri contoh yang nyata. Aku ini manusia hidup yang
sudah berkali-kali mati. Atau menjadi manusia mati yang hidup berulang-ulang
kali. Aku sendiri tak ingin menghitungnya, yang pasti sudah ratusan kali sejak aku
meninggalkan Sekolah Partai dulu itu. Lebih tepatnya bukan meninggalkan
sekolah, aku justru merasa diusir keluar dari sana. Betapa tidak, aku dilempar
keluar disaat aku sudah bisa menikmati semua model dan tantangan ‘Permainan Hidup-Mati’
yang ada di sekolah itu.
182)
Sekolah yang super ekstrim, semua tantangan ‘Permainan
Hidup-Mati’ yang menyeramkan sekaligus membuat ketagihan. Sekolah singkat yang
sukses membentuk diriku sampai sekarang. Maaf aku ralat kata-kataku. Di sekolah
itu aku bukanlah manusia yang dibentuk menjadi manusia baru. Kalimat yang tepat
adalah, aku di sana adalah bahan baku yang dilebur ulang dan dituang ke dalam
cetakan yang sudah baku dan tidak boleh gagal. Sekali saja gagal, maka otomatis
aku akan terkubur secara sistemik dalam bentuk butiran-butiran debu yang tak
berguna sama sekali.
183)
(BANGKIT,
DUDUK DI SISI GEROBAK) Aku
sebenarnya rindu ingin kembali lagi ke sekolah itu. Tapi sayang, tak akan pernah
bisa. Siapapun yang sudah sukses dilempar keluar dari sana hidup-hidup, tak akan
pernah bisa kembali lagi. Untuk masuk kesana orang harus dipingsankan, demikian
juga ketika keluar. Kapan saat dipingsankan juga tidak tahu. Seperti tertidur
pulas, dan di saat bangun sudah ada di suatu tempat yang sama sekali baru dan
asing. Sekolah itu sendiri dari luar tampak tak cukup luas dengan beberapa
bangunan seperti rumah biasa. Tetapi sesungguhnya di dalamnya memiliki banyak
sekali ruangan. Tak bisa aku pastikan seberapa luas. Yang jelas, sangat luas.
Tepatnya mungkin berada di bawah tanah. Tetapi selama aku bersekolah di sana
tidak ada teman murid selain aku sendiri. Persisnya aku adalah murid tunggal di
sekolah waktu itu. Aku hanya kenal tiga orang guru saja, itupun hanya kenal
suaranya saja. Sekalipun belum pernah bertatap muka secara langsung.
184)
Sila anda bayangkan sendiri hal-ikwal Sekolah
Khas itu. Sebab aku yakin anda tak akan mau mendengar cerita bagaimana
metodologi dan strategi pendidikannya, ataupun model aplikasinya terhadap
seorang murid seperti aku. Maaf, tidak bermaksud sombong. Semua yang kualami
disana sangat mengerikan bagi orang biasa, tidak ada sedap-sedapnya. Tetapi
setelah ditendang keluar dari sana, akan rindu kembali, semacam rasa ketagihan
untuk menjalani lebih ekstrim lagi.
185)
Ketika aku dilempar keluar dari sana sudah dibekali
satu misi. Membunuh orang yang harus kugantikan tugasnya. Setiap misi dikirim
lewat pesan khusus dan sangat rahasia, wajib diselesaikan tanpa boleh gagal.
Gagal berarti kematian. Iya, mati betulan. Menjadi bangkai busuk. Seseorang
sepertiku akan diberi misi untuk menghabisi nyawaku. Aku beruntung, belum
pernah gagal dalam misi apapun. Semua misi aku selesaikan sesuai bunyi perintah
tanpa reserve.
186)
Wilayah misi tidak terbatas. Setiap jengkal
jagat semesta raya ini adalah wilayahnya. Dalam negeri dan luar negeri. Semua
fasilitas sudah disediakan tanpa diminta. Tentu saja secara sangat rahasia
juga. Tidak ada kata pensiun bagi orang seperti diriku, hanya kematian yang
bisa menghentikan. Bisa dibayangkan, betapa maju dan canggihnya partaiku saat
itu. Aku belum pernah menemui partai seperti partaiku di dunia ini, selain yang
dilakukan oleh negara-negara tertentu. Sebagai salah satu perangkat rahasia
partai, sungguh tidak ada duanya. Aku heran kok bisa partai yang segini canggih
dan kuat bisa dihancurkan dengan mudah dalam waktu singkat. Pasti ada tangan yang
lebih canggih dari kami di balik misi penghancuran itu. Aku bisa merasakan,
biarpun mataku tak melihat.
187)
Aku tidak pernah tahu berapa jumlah orang
semacam diriku di dunia ini. Tetapi aku bisa merasakan orang-orang itu ada. Satu
dengan lain tidak saling kenal, tidak saling terhubung. Setiap orang agaknya
hanya terhubung dengan satu orang saja yang bertugas memberi misi. Doktrinnya,
aku tidak boleh mengenal orang lain secara priadi, kalau perlu tidak mengenal
diri sendiri lebih bagus. Tidak boleh menemui sesiapapun yang pernah kukenal
sebelumnya. Siapapun, tanpa ada satu pun pengecualian. Hidupku hanya untuk
menuntaskan misi demi misi yang tak pernah jeda sama sekali. Canggih bukan? Jadi
pantaslah aku boleh sedikit sombong? Sebenarnya aku pantang membuka diri
seperti ini, tetapi aku merasa misiku sudah berakhir sekarang. Aku berharap ada
orang sepertiku yang mendengar kemudian membunuhku. Betul, aku jujur, aku ingin
mati di tangan orang sepertiku yang barang kali masih ada yang tersisa selain
aku. Bagi orang seperti aku, mati di tangan pengemban misi Partai adalah
kehormatan tertinggi.
188)
Sejak Partai hancur, tak pernah ada lagi misi
yang diorder untuk aku laksanakan. Misi terakhirku adalah misi mandiri dari
diriku sendiri. Sesuai aturan dan kode etik, membuat misi pribadi adalah
pengkhianatan. Hukumannya hanya bunuh. Apa boleh buat, hidupku tersiksa tanpa
ada misi yang harus kutuntaskan. Maka untuk melepaskan semua siksaan di dalam
diriku hanya ada satu jalan, bunuh diri. Tidak. Aku tidak mau membunuh diriku
sendiri. Itu sama saja dengan meletakkan martabatku di tempat paling rendah dan
kotor. Aku lebih suka dibunuh oleh tangan Tuhanku sendiri.
189)
Tuhan? Aku baru saja mengenal Tuhanku setelah
misi yang terakhir kutuntaskan dengan sangat rumit. Belum lama, persisnya enam
hari yang lalu. Meski terhitung singkat, tetapi aku merasa sudah sangat akrab
dengan-Nya. Jangan khawatir akan kuceritakan bagaimana aku percaya serratus
persen bahwa Tuhan itu memang wajib ada.
190)
Tahun lalu, secara tidak sengaja aku menemukan
Teteh Entin masih hidup di sebuah panti jompo di kota sebelah. Pagi itu Teteh
terlihat oleh mataku sedang di dorong seseorang berkeliling di jalanan sebuah
kompleks perumahan. Aku langsung ingat pernah mendengar cerita orok yang baru
dilahirkan Teteh di lempar keluar kereta api malam-malam oleh pak Wira. Dan
yang melakukannya tidak lain Wira sendiri. Cerita lama semasa aku masih 12
tahun. Kalian pasti juga masih ingat. Kuikuti terus kemana Teteh hendak dibawa.
Pada mulanya aku bersikap hati-hati. Tetapi akhirnya kuberanikan untuk menyusul
dan kupanggil namanya saat aku berada disamping kursi roda tadi. Ku dengar
jawaban yang tak asing gaya bicara dan logatnya. “Hei..iya. Siapa ini ya? Kok
aku sepertinya kenal?”
191) Seratus persen yakin, perempuan renta di kursi
roda ini Teteh. Aku mencoba minta permisi untuk mendorong kursi Teteh menuju
panti yang sudah aku tahu alamatnya. Sambil mengikuti Teteh tadi aku sempat
bertanya kepada seorang ibu, bahwa Teteh adalah penghuni panti jompo yang
beralamat di kompleks itu. Sambil mendorong pelan, aku mencoba bicara padanya.
“Teteh masih tajam ingatan.”
192)
“Hei…, ini si anu ya? Kamu Tjung ya. Kamu
pasti Tjung.”
193)
Betul Teh. Ingatan Teteh masih hebat.
194)
“Berhenti. Berhenti. Tjung, aku kenal suaramu
Tjung. Mana kamu Tjung?”
195)
Aku sendiri yang mendorong kursi Teteh.
196) (MENANGIS
SESENGGUKAN) aku
tak kuasa menahan air mataku lagi. Aku senang Teteh bisa kutemukan masih hidup.
Akhirnya teori yang mengatakan kadang waktu menunggu dengan sabar di tempat
yang tidak pernah kita duga menemukan kebenaran jawaban. Ini kali pertama aku bisa menangis berurai air mata setelah keluar
dari Sekolah Partai. Aku menemukan kembali Teteh Entinku kembali. Nyata di depan
mata, bukan fatamorgana, bukan khayalan. Kami berpelukan dengan penuh kerinduan
yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata berbunga sekalipun.
197)
Kemudian rutin sebulan sekali rutin aku
kunjungi Teteh. Satu tahun kurang lebih. Pada kunjungan bulan kemarin aku
beranikan untuk bertanya tentang cerita orok Teteh yang dilempar Wira keluar
kereta. Teteh terkejut aku tahu cerita itu. Kujawab jujur, aku dengar sendiri
pertengkaran Teteh denga Wira dulu. “Sebetulnya waktu itu aku belum tidur Teh.
hanya takut untuk membuka mata”.
198)
Teteh tidak usah cemas. Tahun-tahun terakhir
ini aku mencoba menyelidiki cerita orok itu. Sudah ada titik terang Teh,
kebenarannya 90 persen, orok Teteh sampai sekarang masih hidup menjadi lelaki
yang kesepian sama seperti Teteh sekarang. Begitu kataku padanya. Mendengar
ceritaku, Teteh hanya diam saja tanpa reaksi. Kemudian kukatakan padanya : “
Tinggal membuktikan yang 10 persennya saja Teh. Apa Teteh tidak ingin tahu
kebenarannya?”
199) Teteh tidak menjawab pertanyaanku. Malah
menarikku lebih dekat padanya. Kupikir Teteh ingin mencium pipiku, tetapi
ternyata aku salah kira. “Mana telingamu Tjung. Bawa dekat ke mulutku”. Begitu
ucap Teteh, aku melihat bibirnya bergetar-getar. Aku yang tadi yang tadinya
membungkuk, kemudian turun jongkok agar bisa menjangkau bibirnya. Punggung
Teteh yang sekarang bongkok membuat kepala Teteh menggantung ke bawah.
Kuletakkan kepalaku di pangkuannya miring ke kanan. Tangan Teteh yang gemetaran
menyambut kepalaku dengan lembut. “Teteh masih lembut seperti dulu, kataku.
Sebentar kemudian bibir Teteh sudah menemukan telingaku. “Tjung”. Lirih Teteh
memanggilku. Tapi jelas terdengar di telingaku.
200)
“Tjung. Yakinlah Tuhan dan karma itu
benar-benar ada. Karma itu keadilan dari Tuhan yang paling adil dan manusiawi. Aku kaget, sejak kapan
Teteh Entin mengenal Tuhan dan percaya karma. Dulu dua kata itu paling sering
dijadikan Teteh sebagai bahan candaan. “Betapa malangnya orang yang masih
percaya yang seperti itu. Ini jaman maju Bung, bukan jaman orang hidup di goa”,
begitu sergah Teteh menjawab pertanyaan seorang kader muda Partai dulu.
201)
“Wira sudah menemui karmanya lebih dulu.
Selanjutnya pasti tiba giliranku. Aku dan Wira tertangkap bersama-sama. Malam-malam
kami berdua diseret rame-rame oleh orang banyak sekali. Kami dibawa menyusuri
rel kereta api. Di tempat yang sepi, kami dihentikan. Mata kami yang tadinya
ditutup, dibuka di situ. Kami di pegangi rame-rame di tengah-tengah rel. Aku di
kanan, Wira di kiri. Jauh di depan mata kami lampu sorot kereta suda terlihat.
Kami berdua sudah pasrah. Tiba-tiba Teteh teringat kejadian orok Teteh yang
dilempar Wira dulu. Sejak malam itu Teteh percaya bahwa karma itu nyata ada.”
202)
Aku tercekat mendengar tutur Teteh. Aku
merasakan titik-titik air mata menetes di rambutku. Teteh berhenti bercerita.
Tetapi kurasakan napasnya masih teratur. Jiwa Teteh masih seperti dulu, tegar
dan kuat. Meski sekarang tubuhnya renta dan rapuh. Bibir Teteh menyentuh
pipiku. Pipiku dikecupnya. Kemudian mendekati telingaku lagi dan kembali
meneruskan ceritanya.
203)
“Malam itu aku diselamatkan Wira. Tepat ketika
Kereta sudah dekat mendak menabrak tubuh kami berdua. Wira mendorongku
sekuatnya keluar rel, aku jatuh tersungkur dan luput tergilas roda-roda kereta.
Aku dengar jelas bagaiman suara roda-roda itu menggilas merajang tubuh Wira.
Wira mati dengan tubuh yang mengerikan menemui karmanya pada orok yang dulu
dilemparnya.”
204)
“Kamu diam dulu, aku ada permintaan kepadamu.
Tjung, jikalau bener orokku masih hidup bawalah kemari menemuiku. Teteh yakin
jikalau lelaki kesepian itu adalah orok yang dulu kulahirkan dari rahimku, dia
akan jadi jalan bagi karmaku. Kamu bisa kan Tjung? Harus bisa. Demi aku Tjung.
Demi lunasnya penderitaanku. Sejak malam itu aku rajin berdoa kepada Tuhan,
juga memohon Ampunan atas semua dosa-dosa yang kusandang selama hidupku. Aku
juga tak pernah lupa mendoakan kamu Tjung. Aku mohon kepada Tuhan agar kamu
selalu diberi keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupmu. Percayalah Tjung,
Tuhan akan menuntun dan memberimu yang terbaik”.
205) Iya, Tjung percaya. Teh, siapa yang mengajari
Teteh berdoa? Ajari aku juga Teh.
206)
“Tidak pernah ada orang yang mengajariku
Tjung. Kalau kita yakin dan tulus berdoa akan keluar dengan sendiri
kata-katanya.” Kamu juga pasti bisa Tjung. Kamu lelaki yang cerdas, kuat, dan
pintar. Pasti bisa. Cobalah Tjung, percayalah kamu pasti bisa”.
207)
Iya, Akan saya coba. Tjung pamit pulang dulu
Teh.
208)
“Iya, hati-hati dijalan. Sebentar, ada semut
menggigit kakiku tolong singkirkan semutnya. Di situ Tjung, dekat mata kaki.
Singkirkan saja, jangan dibunuh semutnya.”
209)
Iya Teh, sudah Tjung singkirkan.
210)
“Terima kasih. Jangan lupa berdoa pada Tuhan. Besok-besok
kalau kamu kesini lagi, bawakan aku lelaki itu.”
211)
Iya, aku janji. Begitu jawabku. Seperti biasa,
aku kecup keningnya dan kedua pipi keriputnya. Aku pulang dengan hati hancur
lebur. Diam-diam aku menyuntikan racun ke kaki Teteh Entin. Aku suntikan di
titik yang tak langsung mematikan dalam waktu dekat. Perhitunganku saat itu,
teteh akan mati jarak 30 hari kemudian atau paling cepat 25 hari. Aku sudah
sangat terlatih mengunakan senjata racun ini. Selama ini perkiraanku selalu 99
% tepat.
212)
Sambil menyuntikkan racun, aku berdoa pada
Tuhan. Pertama kalinya aku mencoba berdoa pada Tuhan. “Tuhan ampuni dosa kami.
Jika racun ini menjadi jalan karma Teteh Entin, maka kabulkanlah”, begitu
doaku. Tetapi jauh didalam hati kecilku aku berharap akulah sesungguhnya karma
sejati untuk mengakhiri penderitaan Teteh. Jika hati kecilku yang yang ternyata
benar, maka aku akan mengikuti Teteh. Aku akan percaya bahwa aku juga punya
Tuhan.
213)
Teteh mati enam hari kemarin, aku hadir di
pemakaman, kutaburkan bunga di atas pusara, tersenyum dan menangis sekaligus :
“Teteh, maafkan Tjung”.
214) Misi terakhirku telah sukses kulunaskan. Ya…,
aku berharap sudah berakhir.
215)
Ooh….malam yang melelahkan. Selamat malam
Malam. Selamat malam semua. Kuharap malam ini menjadi malam yang hening. Jadi
mohon jangan ada yang berisik. (SAMIL
BERINGSUT MENUJU PETI) Mari kita
jadikan malam ini malam damai, malam yang membahagiakan bagi semua orang
dimanapun orang berada.
TOKOH
KITA MEREBAHKAN DIRI DI ATAS PETI, IA TERLIHAT SANGAT LELAH. SEBENTAR KEMUDIAN
MALAM MENJADI HENING.
|
*SARAN : Baca juga naskah drama monolog "REMBULAN MERAH" dan "MATAHARI BURAM" karya Siswo Nurwahyudi di laman blog ini.
NOTE :
Naskah ini merupakan satu dari tiga naskah drama monolog TRILOGI yang saling terhubung antara satu dan lainnya, "balada Tjung", "rembulan Merah", "Matahari Buram".
NOTE :
Naskah ini merupakan satu dari tiga naskah drama monolog TRILOGI yang saling terhubung antara satu dan lainnya, "balada Tjung", "rembulan Merah", "Matahari Buram".
Klik di sini :
Maka tak lengkap dan belum afdol jika tidak membaca ketiga naskah tersebut.
SELAMAT MEMBACA & TERIMA KASIH.
Support/donasi/dukungan :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar