"REMBULAN MERAH"
DRAMA MONOLOG
Siswo Nurwahyudi
I.
I. MIMPI BURUK
DI TENGAH STAGE : DI BAWAH SOROT REMANG
LAMPU DI ATAS KEPALA, TOKOH KITA DUDUK TERIKAT PADA SEBUAH KURSI KAYU. MATA DIBALUT
SELENDANG PUTIH YANG DIIKAT DI SISI KIRI, KEPALA TERKULAI LEMAS DI DEPAN
DADANYA. BERCAK-BERCAK DARAH NAMPAK DI BEBERAPA BAGIAN PAKAIANNYA. SUNGGUH
PEMANDANGAN YANG MENGENASKAN.
TARIKAN DAN HEMBUSAN NAPASNYA CUKUP
MEMBERI GAMBARAN TENTANG APA YANG SEDANG TERJADI PADA DIRI WANITA PARUH BAYA
INI.
BEGITULAH YANG DILIHAT OLEH PENONTON
KETIKA MEMASUKI RUANG PERTUNJUKAN KITA.
SETIAP ADA MENDENGAR SUARA, TUBUH TOKOH
KITA BERGERAK MERESPON. SEJAUH MANA RESPONNYA TERGANTUNG JENIS SUARA DAN
SEBERAPA KERAS SUARA ITU IA DENGAR. TETAPI JIKA SUSANA KEMBALI HENING IA AKAN
TERKULAI LAGI, KADANG KE DEPAN DAN KADANG KE BELAKANG.
DI LUAR SANA TERDENGAR SUARA
TERALIS-TERALIS BESI SEDANG DIPUKUL-PUKUL DENGAN IRAMA SERAMPANGAN MEMECAH
KESUNYIAN. RIUH-RAMAI SUARA TERALIS MEMBUAT TOKOH KITA BERGELIPAKAN SEDEMIKIAN
MENYEDIHKAN. NAPASNYA MENJADI TAK BERATURAN, TUBUHNYA TERGUNCANG-GUNCANG
MEMBUAT KURSI TURUT TERGUNCANG BERGELIDIKAN.
01)
(MENANGIS PILU) Hentikan…, cukup…, sudah…, stop, hentikan…,
tolong hentikan..!! Heeii… di mana orang-orang tadi? Adakah orang di sini? (MENUNGGU JAWABAN) Tolong…, siapapun yang ada di sini, tolong
hentikan suara-suara itu. Heeii… siapapun yang dengar suaraku, tolong hentikan
suara-suara itu. Aku tidak tahan…, tolong hentikan, tolong….
02)
(MENGGERAKKAN KURSI, MENCOBA BERGESER,
TANGISNYA MEMELAS) Heii… tidak bisakah kalian diam. Tolong diam,
tolong aku, toolooong…diaaam…tolonglah….!!
03)
(SUARA PUKULAN TERALIS SEMAKIN CEPAT
IRAMANYA) Aaaahh…!! Hooee…, kalian memang brengsek,
anjing-anjing kapitalis. Beraninya cuma menyiksa perempuan. Tidak malukah
kalian mengikat seorang perempuan seperti ini? Jangan kira aku akan menyerah.
Kalian boleh mengikatku, meremukkan kakiku, mematahkan punggungku, lakukan
sesuka kalian. Kalian boleh menguasai tubuhku, tetapi tidak pikiranku dan keyakinanku.
Tembak saja aku, atau gantung saja aku. Kalian tidak akan dapat apa-apa dariku,
kalian akan dapat balasan yang setimpal nanti.
04)
Dengar
baik-baik, kalian manusia-manusia picik tidak punya otak. Lepaskan aku,
keluarkan aku dari sini, aku tantang kalian duel satu lawan satu kalau berani.
Aku tidak takut. Datangkan seratus laki-laki, aku tantang berduel satu per
satu, aku tidak takut.
05)
(SUARA GADUH TERALIS SEMAKIN KERAS)
Hooeee…! Cukup…! Hentikan…! Diiaaam…! Tolong
hentikan…hentikan…stop…toolooong…tolong hentikan…!
06)
(MEMBERONTAK LEBIH HEBAT, BERUSAHA
LEPAS DARI BELENGGU) Toolooong…, tolong aku…! Tjung…? Kamu di mana
Tjung? Tolonglah aku…! Tjung…tolong aku… Keluarkan aku dari mimpi buruk ini…! Tjung…!
Tjung…!! Tjung…!!!
~
BLACK OUT ~
II. TENTANG REMBULAN MERAH
FADE IN : DI SUDUT KIRI BELAKANG
PANGGUNG. DI BAWAH SINAR REMBULAN MERAH, TOKOH KITA SEDANG MELEPAS DIRI DARI
SEMUA BELENGGU. MASIH DUDUK DI KURSI YANG TADI, GERAKANNYA
LEMBUT…PERLAHAN…TETAPI PASTI. BANGKIT DARI DUDUK, MEMUTAR TUBUH MENGHADAP
BELAKANG, MENGENAKAN SEPATU KETS WARNA MERAH, KEMUDIAN BERDIRI DI ATAS KURSI.
BERGERAK-GERAK MENIKMATI KEBEBASAN SEMBARI MELEPAS PAKAIAN YANG PENUH BERCAK
DARAH. DI BALIK PAKAIAN ITU TUBUHNYA SUDAH TERBUNGKUS KAOS MERAH TANPA LENGAN,
DAN CELANANYA ¾ BERWARNA MERAH MAROON.
01)
(BERHENTI MENARI, MENGIKAT SELENDANG
PUTIH DI PINGGANG) Kalian pasti sudah pernah dengar namaku. Ya…,
namaku Entin. Setidaknya nama itu yang aku miliki di atas kartu-kartu
identitasku sekarang ini. Sebelumnya aku pernah punya nama lain, nama pemberian
ayahku. Kata Mamak, ayahku menyematkan nama padaku dengan ritual adat yang
indah dan sakral.
02)
(MEMUTAR TUBUH, MENGHADAP PENONTON)
Tentu saja waktu itu aku masih bayi. Dan ibuku menunjukkan foto-foto itu
padaku saat usiaku sudah empat tahun, atau dua tahun setelah ayahku mati
terikat pada sebuah tiang bersama 3 orang kawannya di sebuah lapangan terbuka.
Mereka mati oleh semburan pelor dari bedil regu tembak serdadu Belanda pada
pagi yang berkabut. Jenasah ayahku dan 3 kawannya dibiarkan di sana selama
sehari penuh untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai yang lewat.
03)
Inilah
aku, Entin. Tidak usah tanya siapa nama pemberian ayahku dulu. Nama itu sudah
aku kubur dalam-dalam. Jadi, panggil saja aku “ E N T I N “.
04)
(TURUN, MEMBAWA KURSI KE PANGGUNG DEPAN,
BERSANDAR DI PUNGGUNG KURSI) Konon ayahku lebih suka memanggilku dengan
panggilan ‘Bulan’. Kata Mamak karena mataku indah seperti bulan di kala
purnama. Dan menurut cerita pamanku, pada detik-detik akhir, di depan regu
tembak, ayahku masih sempat berteriak memanggil namaku : Bulaaan…!! - Dorr…!! (MENJATUHKAN KEPALA KE MUKA, MENIRU
TERPIDANA TEMBAK MATI)
05)
Tidak
pernah diceritakan padaku, mengapa ayahku dihukum mati oleh pemerintah Kompeni.
Tapi aku yakin, ayahku pasti bukan seorang penjahat murahan. Penjahat semacam
itu hanya akan berakhir di sel penjara yang kotor dan bau. Kata paman, sebelum dihukum tembak ayahku
ditempatkan di dalam sel khusus yang bersih dan rapi. Jadi jelas, apa artinya
itu.
06)
Kemudian,
untuk menghormati ayahku, semua orang di kampung memanggilku dengan nama ‘Bulan’.
Aku sendiri suka sekali dipanggil dengan nama itu, aku merasa seperti gadis di
dalam cerita dongeng Puteri Bulan yang cantik, baik hati, dan suka menolong
orang-orang susah. Aku selalu berkhayal menjadi Puteri Bulan. Setiap bulan
sedang purnama, aku senang menari dan menyanyi di pelataran rumah. Entahlah,
sinar bulan purnama selalu membuat hasratku menari dan menyanyi sulit
dihentikan siapapun. Selalu aku sendiri yang memutuskan kapan mulai dan berhenti
menari dan menyanyi. Banyak orang berkeliling menontonku, ikut bernyanyi
bertepuk tangan. Kadang-kadang ada juga turut menari bersamaku, tua-muda, laki-perempuan,
dan anak-anak.
07)
Aku
berasal dari keluarga terhormat di kampung. Hidup berkecukupan, meski tidak
juga berlebihan. Keluargaku memiliki tanah dan kebun yang cukup luas untuk
ukuran orang udik. Secara materi, keluargaku patut untuk hidup tenteram dan
bahagia. Masa kecilku memang kurasakan menyenangkan. Bisa bersekolah, meski letak
sekolahku cukup jauh dari rumah. Sering bervakansi bersama-sama handai taulan
dan para kerabat. Lebih sering kami bervakansi ke pantai, karena kampung kami
di lereng pegunungan yang jauh dari pantai.
08)
Kesenangan
dan kebahagiaan itu mendadak berubah drastis ketika tentara Jepang menguasai
kampung kami. Sebenarnya serdadu-serdadu Jepang itu tidak terlalu mengusik
kami, tetapi perilaku mereka telah membuat kami takut. Setiap bertemu mereka
kami harus membungkuk hormat kalau tidak ingin babak belur dihajar dengan popor
bedil dan sepatu boot mereka yang keras.
09)
Jaman
Jepang kata orang. Jikalau keluargaku saja menderita, bisa dibayangkan betapa
menderitanya orang-orang kampung yang kehidupan sebelumnya sudah miskin.
Kebanyakan orang terlihat kurus dan pucat. Pakaian mereka seadanya, asal nempel
di badan. Akupun tidak lagi bisa bersekolah.
10)
Boleh
dikata, waktu itu aku sudah gadis awal remaja. Oleh Mamak aku lebih banyak
dikurung di kamar, takut diapa-apakan oleh serdadu Jepang. Aku tidak boleh lagi
keluar malam. Aku tidak boleh menari dan menyanyi di bawah sinar purnama.
11)
Ohh…
Jaman yang diliputi kemurungan dan kemalangan. Aku merengek pada Emak, untuk
boleh bermain di luar rumah. “Aku bosan Mak, hidup begini terus. Sampai kapan
aku harus hidup seperti ini”, kataku. Mamak memandangku iba, tetapi raut
wajahnya menjadi kaku dan dingin seperti batu. “Tidak boleh, kau tidak aman di
luar sana”, kata Mamak tegas.
12)
Akhirnya
Mamak menawarkan satu cara untuk
mengurangi kebosananku, Mamak membolehkan aku membaca buku-buku peninggalan
ayahku. Aku tidak pernah menyangka, ternyata cukup banyak buku-buku di kamar Mamak.
Aku diijinkan membaca semuanya asal setelah selesai aku harus menyimpannya
kembali rapi-rapi, takut ketahuan dan dirampas Jepang. Mamak sendiri tidak
begitu suka membaca, tetapi kata mamak ayahku memang kutu buku. (MELEPAS SELENDANG, MENGENAKAN SEBAGAI
KERUDUNG) “kau persis seperti
ayahmu”, kata Mamak.
13)
Cara
yang ampuh. Aku lebih suka tenggelam di dalam lembar-lembar buku. Aku jadi
malas mandi, lupa makan, lupa minum. Kata Mamak aku nyaris mirip mayat hidup.
Mamak sangat khawatir aku jatuh sakit. Mamak mulai melarangku membaca buku.
Tetapi aku tetap meminta buku-buku ayah. “Beri aku buku untuk kubaca Mak, atau
aku tidak akan makan”, aku mengancam. “Kau boleh baca, tetapi kau harus jaga
makan, jaga minum. Kalau kau sakit, bahkan mati, pada siapa buku-buku itu
diwariskan”, Mamak balik menawar. Menatap sorot mata Mamak yang sembab,
akhirnya aku mengalah. “Baiklah Mak, aku janji”, jawabku sambil memeluk Mamak.
Ahh…, betapa kurusnya Mamak. Kasihan kau Mak.
14)
Setelah
Jepang pergi, oleh Mamak aku dibawa ke kota dimana ada salah satu kerabatku tinggal
menetap di sana. Kota yang dulu dijanjikan untukku oleh Ayah sejak aku masih
dalam kandungan. “Mak, kalau bayi kita lahir selamat, laki atau perempuan, akan
aku sekolahkan di tempat Wak Ciknya sana”, begitu cerita Mamak sebelum
membawaku pergi.
15)
Kota
yang indah dikelilingi bukit-bukit hijau. Kota kecil tetapi cukup ramai untuk
ukuran masa itu. Sejak awal memasuki kota ini aku sudah merasakan gelora di
dada setiap orang. Bendera merah putih berkibar di mana-mana. Beberapa bangunan
dindingnya dicorat-coret dengan tulisan-tulisan yang membakar gelora
perjuangan. ‘Merdeka’, ‘Freedom’, ‘Merdeka ataoe Mati’, ‘Hidoep Soekarno’,
‘Hidoep Sjahrir’, ada juga coretan di dinding sebuah bangunan : ‘Gedoeng Milik
Repoeblik’. Macam-macam bunyi coretan. Wajah banyak orang terlihat gembira,
membuat aku yang sudah lelah di perjalanan ikut merasa bersemangat.
16)
Aku
kembali masuk sekolah. Ya, aku bahagia sekali bisa bersekolah kembali. Kata Mamak,
aku lebih baik bersekolah di kota ini, sebab di sini mutunya jauh lebih bagus.
Dan Mamak berkata benar. Aku bisa bandingkan dengan jelas perbedaan mutunya. Kawan-kawan
di sekolah pun rata-rata bersemangat untuk belajar. Semua memang masih serba
terbatas, tetapi yang penting adalah semangatnya sudah seperti apa yang aku
inginkan.
17)
Tetapi
ada yang hilang dari diriku di kota itu. Jikalau kalian bisa, coba tebak apa
yang hilang dari diri saya? Ayo…, tebak. Siapa bisa sila boleh tebak, Apa
menurut anda yang hilang dari diri saya di kota itu? Apa? (MENUNGGU JAWABAN) Oh,
bukan. Ayo, tebak lagi. Ya…? Apa? (TERSENYUM
MANIS) Maaf, salah lagi. Yang benar
di kota itu aku kehilangan nama kesukaanku : ‘Bulan’. Tidak ada lagi yang memanggilku
‘Bulan’. (SEDIH) Ooh…Bulanku yang malang.
18)
Oh,
tidak juga seperti itu. Di sekolah itu aku punya seorang kawan pemuda yang
berasal dari Jawa. Namanya Soeryo, begitu kami semua memanggilnya. Soeryo anak
dari salah satu tokoh yang dihukum oleh Belanda sebelum Jepang masuk. Ayahnya
‘dibuang’ di kota ini, dan keluarganya diajak serta. Ayahnya sudah kembali ke
Jawa, tetapi Soeryo dan ibunya bersama adik-adiknya masih tinggal menunggu
dijemput suatu saat nanti. Tak sengaja aku cerita jika aku suka dipanggil ‘Bulan’
di kampungku. Soeryo sangat menyukai nama itu. Hanya saja Soeryo lebih suka
memanggilku ‘Rembulan’. Lelaki itu suka memanggilku ‘Rembulan’ hanya di luar
sekolah, di lingkungan sekolah tidak pernah sama sekali. Katanya ‘Rembulan’ cocok
sebagai pasangan dari namanya, ‘Soeryo” yang artinya matahari. Ya syukur, cukup
begitu sudah membuatku senang. Dan kami bersahabat akrab lebih dari kawan-kawan
yang lain. Soeryo pun mendapat ijin Wak Cik mengunjungiku di rumah asal tidak
terlalu sering. Itupun karena dia gigih merayu Wak Cik setiap hari.
19)
(NAIK KE KURSI, MENGALUNGKAN SELENDANG,
MENARI) setiap bulan purnama Soeryo selalu
menyempatkan datang untuk mengajakku menari di pelataran depan rumah. Kami
tertawa dan menari riang bersama tanpa malu ditonton keluara, kerabat, dan para
tetangga. Di saat-saat seperti itu aku serasa berada di kampungku dulu lagi,
membuat kerinduanku pada Mamak menusuk-nusuk hatiku. Soeryo juga gembira menari
bersamaku, dia menambahkan satu kata di belakang nama ‘Rembulan’. Dia menamaiku
‘Rembulan Merah’ karena aku memiliki pipi yang merona merah. Aku setuju saja,
menurutku nama ‘Rembulan Merah’ cukup enak didengar. Ya, begitulah aku, ‘Rembulan
Merah’.
~
FADE OUT ~
III.
BELAJAR KE NEGERI MERAH
FADE IN : TENGAH DEPAN PANGGUNG. TOKOH
KITA DUDUK DENGAN ANGGUN.
20)
Beginilah
aku, Entin. Lahir sebagai gadis udik yang kemudian menjadi perempuan penuh
ambisi ingin mendaki puncak piramida tertinggi dalam organisasi politik besar yang
semakin hari semakin kuat dan cukup berpengaruh di muka bumi. Begitulah aku, perempuan
yang sejak usia 2 tahun sudah kehilangan ayah. Kisaran lima belas tahun setelah
kematian ayah, aku baru tahu bahwa ayahku adalah salah satu tokoh pergerakan
pra kemerdekaan. Kemudian oleh Mamak semua buku-buku ayah diwariskan kepadaku.
Aku bawa serta buku-buku itu ketika aku mengikuti kursus-kursus Partai di ibu
kota.
21)
Bekal
ilmu yang aku baca dari buku-buku ayah membawaku diterima masuk di Perguruan
Tinggi milik yayasan yang didirikan oleh Partai. Satu tahun kemudian aku
berhasil menyisihkan 40 orang pesaing untuk mendapat beasiswa khusus belajar ke
‘negeri merah’ nun jauh di seberang sana selama satu tahun. Sungguh di luar
dugaan, ternyata aku tidak hanya sendiri. Ada empat pemuda lain yang juga akan
berangkat ke sana. Kami diberangkatkan bersama-sama naik pesawat terbang, dan
aku satu-satunya perempuan dalam rombongan itu. Yang lebih mengejutkan lagi,
ternyata Soeryo ada bersama rombongan.
22)
Itu
pun baru aku tahu setelah kami turun di Air Port tujuan. Kami berdua sama-sama
terkejut, tetapi pertemuan itu sangat menggembirakan kami. Maklum, selama lebih-kurang
tiga tahun setelah Soeryo dijemput kembali ke Jawa kami kehilangan kontak sama
sekali. Di perjalanan menuju asrama, aku sempat marah padanya : “Mengapa kau
tidak pernah menulis surat padaku? Adakah gadis di Jawa telah menambatmu hingga
melupakan seorang sahabat di tanah rantau?” Lalu dijawabnya : “Sudah
berkali-kali saya menulis surat untukmu. Tetapi suratku selalu kembali. Kata
petugas Pos, nama dan alamatmu tidak ditemukan. Sungguh, saya tidak bohong.”
23)
Aku
pandangi dalam-dalam relung bola mata Soeryo. Tampak ia sungguh-sungguh
mengatakan itu. Lalu kutanya dia : “Apa yang kau tulis di amplop? Aku tidak
pindah alamat, mestinya sampai kalau kau menulisnya benar-benar”. Dia jawab : “Saya
tulis begini, kepada terkasih ‘Rembulan Merah’, dan alamatmu saya tulis
lengkap-lengkap. Saya mengira kamu tidak suka menerima surat-suratku sehingga
kembali lagi pada saya.”
24)
Ha….ha….ha….
pantas saja kalau begitu. Kau lupa Kawan, Wak Cik itu pegawai Pos. Lupa pulakah
kau, Wak Cik tak suka kau panggil aku ‘Rembulan Merah’. Pantas kalau
surat-surat kau tak sampai Bung. Ha…ha…ha…!
25)
Kami
ditempatkan dalam satu kompleks asrama. Tetapi kami masing-masing berbeda
tempat sekolah. Sulit sekali mencuri waktu untuk bisa berjumpa. Tempat kami
berada sangat dekat, namun Soeryo serasa jauh di ujung dunia. Hanya sekali ada
kesempatan kami bisa bertatap muka, ada waktu dua minggu cuti semester. Tetapi Soeryo memilih balik ke Jawa sampai
habis waktu cuti. Aku baru tahu belakang hari, Soeryo cerita saat cuti semester
dipanggil pulang untuk tugas khusus rahasia dan penting. Dan tugas itu tentang
penugasanku berikut setamat belajar di ‘negeri merah’.
26)
Ya,
setamat dari sana aku tidak langsung dipulangkan. Tetapi langsung diantar
menuju Eropa timur untuk tugas belajar berikutnya. Di negeri beruang sana aku
hanya menempuh pendidikan selama enam bulan saja.
27)
Selepas
itu aku langsung ditampung di asrama di kota dingin dekat ibu kota. Di sana aku
bertemu kembali kawan-kawan sesama alumni negeri merah, termasuk Soeryo. Di
tempat ini kami diberi pembekalan untuk tugas-tugas khusus dan sangat rahasia
di bawah pengawasan ketat Partai. Oh… iya lupa, di sana kami juga dibekali
keterampilan beladiri secara disiplin dan keras. Justru di tempat itulah tenaga
dan pikiran kami benar-benar harus terkuras. Kami diisolasi dari dunia luar
sama sekali. Setengah tahun lamanya. Kemudian dilepas dengan misi khusus.
28)
Kami
ditempatkan tersebar di berbagai wilayah. Ada yang ke Sumatera, satu orang ke
Bali, Satu orang lagi ke Sulawesi. Soeryo bertugas di pulau jawa kecuali daerah
ibu kota, karena di sana sudah ditetapkan untukku.
IV. MENJADI ENTIN
FADE
IN : ~ ROLLING SILHUET SOFT LIGHT STAGE ~ SUARA KERETA API MELAJU CEPAT.
SEORANG PEREMPUAN REBAH MENGEJAN-NGEJAN DENGAN KAKI DITEKUK KE ATAS DAN
MENGANGKANG. NAPASNYA MEMBURU, KERINGATNYA MENGUCUR DERAS. KEMUDIAN MENGEJAN
KERAS, BERTERIAK, LALU LEPAS…. TERDENGAR TANGIS OROK. REBAH LEMAS IA. SUARA
KERETA MENJAUH, HILANG DI TELAN MALAM. ~ FADE OUT LIGHT STAGE ~
~ BLACK OUT ~
FADE IN : KIRI DEPAN PANGUNG. TOKOH
KITA BEDIRI DENGAN ANGGUN BERKERUDUNG SELENDANG. KALI INI BERKAIN DAN
BERKEBAYA. SEPASANG SANDAL JINJIT BERHAK TINGGI MENGHIASI KEDUA KAKI.
29)
Partai
mengijinkan aku kawin dan punya anak. Suamiku juga aktivis satu Partai. Ketika
aku mengandung 7 bulan, suamiku ditugaskan Partai menjadi salah satu delegasi
Konggres Internasional yang diselenggarakan secara rahasia di salah satu negara
Amerika Selatan. Di sana kabarnya suamiku mengalami serangan jantung mendadak
dan nyawanya tidak selamat. Oleh sebab sifat kerahasiaan yang sangat, jasad
suamiku harus juga dikuburkan secara rahasia di suatu tempat entah di mana.
Sampai sekarang aku tidak pernah tahu, bahkan Partai melarangkan aku untuk
tahu.
30)
Pada
suatu sore, aku mendapat tugas misi rahasia ke suatu wilayah timur. Usia
kandunganku sudah menginjak fase kritis. Perutku sudah mulai sering mules-mules
dan kencang-kencang. Sebenarnya aku menolak tugas itu, tetapi Partai tidak bisa
menerima alasanku. Aku diperintah untuk segera berkemas dan langsung berangkat.
Aku diberi jaminan keselamatan, ada orang yang akan menjagaku selama di
perjalanan. Ternyata kawan Soeryo, dialah orang yang bertugas menjagaku. Aku
jadi sedikit tenteram, karena aku sangat kenal dan percaya penuh padanya.
31)
Kami
berdua berangkat dengan menyamar menjadi sepasang gembel. Yah…, itu hal biasa
di saat kami bertugas. Sering harus menyamar menjadi apa saja sesuai kebutuhan
dan kerahasiaan misi yang harus kami laksanakan. Kami menyelinap ke Stasiun,
dan menumpang sebuah gerbong barang yang kosong.
32)
Di
tengah perjalanan malam itulah aku merasa perutku mulas keras sekali. Aku
setengah berteriak kesakitan. Kawan Soeryo membantu menenangkan dan sudah
bersiap menjadi dukun bayi yang siap menolong kelahiran bayiku. Yang seperti
itu juga masuk pelajaran yang harus kami kuasai. Di tengah deru laju kereta,
aku berhasil melahirkan bayiku. Aku dengar tangis orok yang menjerit keras.
Lega rasanya. Kawan Soeryo membawa orokku untuk aku sentuh. Aku meminta untuk
aku peluk, dan berkata padanya : “Soeryo lekas kemarikan anakku. Lekas ambil
perlengkapan kelahiran, aku sudah siapkan semuanya”.
33)
Alangkah
kagetnya aku, Soeryo menarik lagi orok di tangannya. Dengan suara keras lelaki itu membentak :
“Tidak. Sebelum kamu menerima orok ini, jawab dulu pertanyaan saya. Seandianya
Partai meminta, kawan Rembulan Merah pilih mana antara Partai atau anakmu ini?”
Aku tentu saja marah dengan pertanyaan itu. “Kawan Soeryo, pertanyaan itu tidak
tepat waktu dan keadaan. Jangan aneh-aneh, tidakkah kawan dengar tangis orok
ini? Berikan anakku padaku, kasihan dia akan mati kedinginan. Jangan banyak
cakap, berikan padaku lekas…!” Eeh…, tidak juga dia berikan bayinya padaku,
malah justru membentak lebih keras :”Tidak kawan. Jawab dulu pertanyaan saya :
Jika Partai meminta, lebih pilih anakmu atau Partai?” “Bajingan kau. Tentu saja
aku pilih Partai kawan Soeryo, jawabku keras dan tegas. “Bagus, itu baru
jawaban benar kawan Rembulan Merah”, katanya.
34)
Tetapi
bukannya bayi merah yang menangis itu dia berikan padaku, Soeryo melempar
orokku keluar. (MENJERIT KERAS) Aaaaaaaa…!! Soeryo apa yang baru saja
kau lakukan. Kau bunuh anakku…!! Jahanam kau Soeryo…!!!
35)
Seperti
tidak mendengar kata-kataku, Soeryo dengan tenang membersihkan dirinya dari
kotoran dan darah orok. Kepalaku berat rasanya, dunia di sekelilingku berputar.
Masih bisa kudengar Soeryo berkata tenang padaku : “Pilihan jawaban yang benar
kawan. Kita telah lulus ujian Partai. Yahh…, ini malam adalah ujian untuk saya
dan kamu. Sudah selesai, kita sudah lulus ujian. Maaf, inilah sebenarnya misi
kita. Selanjutnya kita tunggu misi berikutnya. Jangan khawatirkan dirimu, saya
jamin kamu akan selamat.
36)
Walau
hatiku hancur, apa yang bisa aku buat? Kalau benar ini perintah partai, aku
tidak akan mempermasalahkan lagi. Dalam benakku sudah terpikir untuk
memperjelas kebenarannya nanti. “Terima kasih kawan Soeryo”, jawabku singkat.
37)
Di
sebuah Stasiun kecil entah di mana, kereta berhenti karena ada kereta di depan
yang harus lalu lebih dulu. Di situlah tubuhku diambil dan dibawa dengan mobil.
Tiba-tiba duniaku gelap sama sekali. Tahu-tahu aku sudah berada di sebuah kamar
yang dijaga oleh seorang perawat. Perempuan bertubuh gendut dan ketus. Di sana
aku dirawat sampai aku pulih benar. Aku tidak diperkenankan keluar kamar, ada
seorang dokter Cina yang terus mengawasiku. Dokter itu selalu berbahasa Cina
jika berbicara denganku. Bahasa melayunya tidak lancar, dan tidak ramah sama
sekali.
38)
Setelah
benar-benar pulih, aku dibawa lagi dengan mobil. Kemana Soeryo? Aku tidak lihat
batang hidungnya. Si dokter Cina menyampaikan bahwa aku sudah boleh pergi.
Sudah ada mobil yang siap menjemputku. Sebelum aku pergi, si dokter Cina itu
meminta gambarku, untuk kenang-kenangan katanya. Dibawakan aku sebuah kamera
foto berkaki tiga, juga dua buah payung blitz di kanan dan kiri kamera. Setelah
puas menata gayaku, si dokter memasukkan kepalanya di dalam kelambu belakang
kamera. Tiga-dua-satu…jrreett…! Selesai. Kemudian aku disilakan berangkat.
39)
Rupanya
aku dibawa kembali ke barat melalui jalan Deandeles sepanjang pantai utara
Jawa. Supirnya tidak banyak bisa diajak bercakap-cakap, kata-kata yang keluar
dari mulutnya terbata-bata dan tidak jelas. Rupanya dia bisu tetapi sepertinya
tidak tuli. “Ah, kenapa aku diberi jemputan bersupir aneh ini?”, pikirku. Semua
bekal makanan dan minuman ada di mobil. Dua kali kami berhenti untuk sekedar
istirahat menghirup udara segar, makan dan minum sekedarnya. Selebihnya aku
lebih banyak tertidur di perjalanan.
40)
Malam
hari kami sampai di sebuah villa di salah satu bukit kecil, malam itu sudah
larut sangat. Aku ditempatkan di kamar yang cukup nyaman dan hangat oleh tungku
perapian kecil. Pagi hari sudah dibangunkan oleh seorang perempuan setengah
baya yang baru kulihat kali itu. Sebuah amplop tersegel disodorkan padaku
berisi dokumen-dokumen, kubaca dengan seksama. Aku kenal semua kode-kode
rahasianya. Kupastikan itu surat asli dari badan rahasia Partai.
41)
Dokumen
pertama adalah keputusan Partai bahwa aku diangkat menjadi Ketua dari Tim Lima
yang terdiri dari alumni ‘negeri merah’ dan diberi hak penuh memerintah anggota
tim atas nama Partai. (NADANYA MENINGGI ) Artinya, atas nama partai aku berhak melakukan
apa saja pada mereka berempat. Bangga sangat tentu, tidak sembarang orang
diberi kewenangan semacam itu. (MENURUNKAN NADA DUA OKTAV) Atas dasar
dokumen rahasia itulah, di hari berikutnya aku perintahkan Soeryo untuk masuk
Militer dengan nama Wira Irawan. Di sana pangkat dan jabatan Soeryo beserta
seluruh berkas-berkas dan identitasnya sebagai Wira Irawan sudah disiapkan oleh
kawan-kawan di Markas Kemiliteran Pusat.
42)
Yahh…,
Semua dokumen itu menandaskan bahwa identitasku juga telah diperbaharui. Mulai
sekarang namaku adalah ENTIN”, disebutkan juga kota lahirku lengkap dengan
tanggal lahir. Daftar silsilah keluarga plus sebuah foto keluarga yang sedikit
kusut dan usang. Sumpah mati aku tidak kenal satupun wajah-wajah yang ada di
foto itu. Aku harus menghapal melalui dokumen berkode rahasia itu.
43)
Dan
masih satu lagi, sebuah surat keterangan resmi dari pemerintah setempat lengkap
dengan teken pejabat dan stempel jawatan. Aku langsung mengerti, bahwa Partai
menginginkan aku menjadi orang baru sama sekali. Aku perhatikan pas foto 3 x 4
terpasang di situ. Sepintas mirip aku, tapi agak aneh sedikit. Aku perhatikan
dengan cermat potret kecil itu. (MENGERNYIT HERAN) Akukah ini?
44)
Tak
terasa kakiku melangkah menuju cermin di atas meja rias. Betapa terkejutnya
aku, wajahku agak sedikit berubah. Aku perhatikan berulang-ulang antara potret
dan wajahku di cermin. Pikiranku mengumpulkan serpihan-serpihan dan urutan
kejadian yang menimpaku terakhir ini, aku langsung paham apa yang telah terjadi
padaku.
45)
Ya,
terutama kejadian di kamar di mana aku dirawat dokter Cina itu. Ah, brengsek.
Kenapa pula di sana kepalaku dibalut kain perban, padahal aku hanya pendarahan sehabis
melahirkan. Kenapa pula tak ada cermin di sana. Hmmm… Pantas hidungku berubah
sedikit lebih runcing. Rupanya dokter Cina itu pelakunya. Potret kecil ini
juga, hasil kerja dia pula. Ha….ha…ha…ha….!! Selamat datang di dunia baru . Ha…ha…ha…ha…!!
Selamat tinggal masa lalu. Ha…ha…ha...!!! Selamat datang : “ENTIN”
Ha…ha…ha…ha…ha…ha…
~
BLACK OUT ~
V.
MENUNGGU KARMA
FADE IN : KANAN DEPAN PANGGUNG. KAKINYA
TELANJANG. MENCOBA MENARI JAIPONG SELUWES DAN SEINDAH MUNGKIN. TETAPI TERHENTI
OLEH LUTUTNYA YANG TERASA SAKIT.
46)
Sebenarnya
umurku belum terlalu tua. Tetapi buah dari siksaan-siksaan dulu itu sudah
merampas keluwesanku menari. Yahh…, apa boleh buat. Memang sudah nasib
barangkali. Semuanya sudah habis…, habis…! Yang tersisa hanya ini saja (MENGUSAP WAJAH, LALU MENUNJUK HIDUNG) Hasil karya tangan dokter Cina itu. Tetapi
ada yang aku tidak suka pada kerja dokter itu, kandunganku ikut dirampas juga
dari perutku. Syukurlah aku bisa terima, bisa apa aku kalau itu sudah perintah
Partai. Tapi jangan disembunyikan, terus terang saja lebih baik. Mana mungkin
aku bisa marah kalau itu demi Partai, aku justru akan menyerahkannya sukarela
dengan penuh rasa bangga. Jangankan cuma kehilangan anak dan kandungan, nyawaku
pasti akan aku berikan kalau diminta oleh Partai.
47)
Terima
kasih kalian-kalian yang sudah membiarkan wajah ini tidak ikut terampas juga.
Aku masih kalian biarkan hidup dan otakku masih waras sampai sekarang. Banyak
yang sudah lenyap ditelan kegelapan, banyak yang sudah tidak waras otaknya.
Biarpun hidupku sekarang sengsara, masih lebih baik daripada hidup senang tapi
otak sudah tidak waras seperti kalian-kalian. Sekarang kalian rasakan saja
karma yang datang pada kalian, itu buah dari perbuatan kalian yang tidak
berperikemanusiaan kepada orang-orang yang tidak berdosa. Kalian-kalian sudah
ngawur dulu itu. Menyiksa orang yang belum pasti bersalah.
48)
Seperti
aku contohnya. Aku tidak pernah tahu-menahu soal pemusatan latihan perang para
calon sukarelawan-sukarelawati yang di sana itu, kalian tuduh aku ikut melatih
sukarelawan. Kalian sangkakan aku ikut menyiksa-nyiksa, menyilet-nyilet,
padahal itu bukan tugasku. Tugasku itu tugas rahasia, bukan menyiksa, bukan
menculik atau membunuh. Aku memang loyalis Partai, tapi aku tidak pernah
dilatih dan ditugasi pekerjaan rendah seperti itu. Sekarang rasakan, kuwalat
kata orang Jawa.
49)
Sebagai
petugas Partai yang menjalankan misi rahasia, aku hanya dilatih bertahan
terhadap segala kondisi dan situasi termasuk kemungkinan akan siksaan-siksaan.
Aku hanya dilatih bertahan untuk tidak membuka rahasia Partai. Karena itu
kalian tidak akan pernah dapat apa-apa meskipun kamu siksa aku sesakit apapun.
Aku akan tutup mulut sampai ajalku tiba, aku tidak akan pernah berkhianat pada
Partai. Partai sekarang sudah hancur lebur, tetapi rahasia-rahasia yang ada
pada diriku masih akan aman bersamaku sampai aku mati nanti.
50)
Aku
juga masih punya Tjung. Anak lelaki yang dulu aku rawat dan aku didik sendiri
dengan tanganku sebelum kulepas ke Sekolah Khas Partai. Dulu namanya Tjung,
entah sekarang ganti nama siapa aku tidak tahu. Aku sangat sayang pada Tjung. Gagah,
kuat, pintar, cerdas, cekatan, dan dia juga sayang padaku. Dia tidak akan
pernah melupakan aku. Tjung pasti selamat, kalian tidak akan bisa menangkap
Tjung. Tjung sudah dilatih dengan disiplin yang keras di Sekolah Khas Partai
untuk bertahan hidup dalam keadaan apapun. Aku yakin.
51)
Aku
harus bertahan hidup, karena aku harus bertemu Tjung pada suatu hari kelak. Itu
juga yang menguatkan aku. Tjung satu-satunya harapanku, aku berharap Tjung
menemukanku dan menyelamatkan aku keluar dari kebiadaban kalian-kalian. Sayang,
sampai aku bebas, Tjung tidak pernah datang menyelamatkan aku. Tjung…? Kamu
sekarang ada di mana Tjung? Teteh kangen sama Tjung. (MENANGIS) Teteh yakin kamu
masih hidup di luar sana. Teteh selalu mendoakan kamu Tjung.
52)
(TERDUDUK SENDU, TANGISNYA MAKIN SESAK)
Tjung, Teteh ingin menebus dosa-dosaku pada kamu. Teteh sudah salah pada
kamu dulu itu. Tjung…, ada di mana kamu sekarang, Teteh mau minta maaf padamu.
Teteh akan mengajarimu mengenal Tuhan, mengenal karma, biar hidupmu selamat.
Tjung…, ternyata Tuhan itu memang ada. Karma itu juga nyata. Dulu kita sering
mengejek orang yang percaya itu, tapi sekarang Teteh malu sama mereka. Ternyata
mereka benar, kita yang salah.
53)
Semua
kawan-kawan Teteh sudah menjemput karma mereka masing masing. Orang yang
melempar orok yang aku lahirkan di dalam gerbong kereta api malam-malam dulu, dia
itu si Soeryo yang kemudian berganti nama menjadi Wira Irawan, ya Mayor Wira
yang dulu itu, akhirnya mati dilindas kereta api malam. Tubuhnya hancur tercerai-berai.
Kawan-kawan Teteh yang lain juga mati dengan cara masing-masing sesuai
perbuatan dan karmanya di masa lalu. Begitulah karma itu bekerja, cara Tuhan
mengingatkan manusia supaya tidak berbuat dosa pada sesama.
54)
Ya…Tuhan…,
bawalah Tjung padaku sebelum karmaku tiba. Tolong Tuhan, aku sungguh-sungguh
aku mohon pada-Mu. Kabulkan ya Tuhan, berjanjilah padaku Tuhan. Biarpun aku
mengenal-Mu sudah terlambat sekali, tapi aku percaya Engkau benar-benar ada dan
Maha Menolong seperti kata orang-orang di sana itu. Aku percaya Engkau juga
mendengar semua doa-doaku, karena aku percaya Engkau Maha Dengar.
55)
Aku
percaya pada-Mu bukan karena ceramah dan khotbah orang-orang di sana itu. Tapi
aku meyakini-Mu dari batin dan pikiranku sendiri. Engkau sudah menunjukkan
banyak bukti nyata bahwa Engkau memang ada. Engkau pasti juga Maha Pengampun,
Maha Sayang, dan Maha Murah. Aku bersyukur pada-Mu sudah memberiku kesempatan
hidup dan Engkau tunjukkan kebenaran ajaran-ajaranmu.
56)
Bawakan
Tjung kepadaku ya Tuhan. Ya Tuhan ya…, ini aku berdoa langsung dari hatiku yang
paling dalam. (MERENDAH) Ah, tidak usah aku jelaskan pasti Engkau sudah
tahu, Kamu kan Maha Tahu. Maaf Tuhan, ternyata aku masih bodoh ya Tuhan Ya?
Tidak apa kan Tuhan? Mohon jangan marah, aku sungguh-sungguh mohon ampun
pada-Mu.
57)
Oh,
iya. Satu lagi doa yang sangat ingin Engkau kabulkan, mohon jangan datangkan karmaku
dulu sebelum aku bertemu Tjung. Sampai kapanpun jangan ya Tuhan…, pertemukan
dengan Tjung dulu, baru datangkan karmaku. Biar aku ikhlas lahir-batin Tuhan,
biar arwahku tidak gentayangan kelak. Sungguh aku mohon pada-Mu.
58)
Jadi,
sudah jelas. Doaku yang itu tadi juga sekaligus doaku agar Engkau juga senantiasa
menjaga Tjung. Jika diijinkan, sekalian datangkan Tjung beserta karmaku
sekaligus biar enak, biar cepet rampung. Hanya Engkau ya Tuhan, yang bisa
melakukan keduanya sekaligus. Siapa lagi? Tidak ada yang lain yang bisa
melakukan baaanyaak pekerjaan sekaligus dengan sempurna di seluruh jagat raya
ini. Hanya Engkau ya Tuhan. Yakin deh.
59)
Tjung…,
kau dimana? Tjung Teteh selalu berdoa agar Tuhan mempertemukan kita kembali
dalam keadaan hidup. Sampai kapanpun Teteh akan menunggu kau Tjung. Teteh
percaya, suatu hari nanti Tuhan akan mengijinkan kita bertemu kembali. Kau juga
harus percaya itu Tjung. Percayalah juga pada Teteh ya Tjung. Kita pasti akan
dipertemukan kembali sebelum karma kita menjemput ajal kita.
60)
Oh
iya, jangan lupa Tjung. Kalau Tuhan menitipkan karmaku padamu jangan tolak ya
Tjung. Jangan. Teteh justru merasa tenteram jikalau Tuhan menitipkan karmaku
pada kau. Teteh masih sayaaang pada kau.
61)
(MENANGIS LAGI LEBIH HISTERIS) Tjung…! Teteh kangen sama Tjung. Teteh masih
ingat saat-saat kita masih bersama dulu. Kau anak lelaki yang lucu dan pintar,
cerdas dan kuat. Kau tak pernah menyerah betapapun Teteh telah menyiksamu
dengan tugas-tugas yang tidak kau mengerti. Tetapi itu demi menjaga kerahasiaan
Partai. Yang kau ketik beribu-ribu lembar dulu itu dokumen-dokumen rahasia
Partai. Karena itulah Teteh hanya mengajarimu megetik saja, tidak pernah
mengajarimu membaca. Kau kecil-kecil sudah jago mengetik, sulit dicari
tandingnya. Tapi kau tidak boleh Teteh ajari membaca sebelum ada perintah dari
Partai. Karena perkara itu, kau kena marah Wira sampai kau pucat pasi dan
gemetaran. Tidak apa. Wira hanya heran, kok bisa ada anak sudah super pinter mengetik
dengan hasil memuaskan tapi masa belum bisa baca sama sekali. (GERAM) Hih..hiiih….!! Oh… Wira yang dibodohkan oleh
seragam tentaranya.
62)
(MASIH ADA SEDIKIT SISA TANGIS)
Teteh ingat semuanya saat-saat kita bersama dulu. Kau suka mencium-cium
harum tubuhku. Menjilat-jilat leherku. Memain-mainkan puting tetekku. Kau suka
minta Teteh cium pipimu. Hidungmu yang sekel itu suka menghirup-hirup ketiakku.
Dasar asem kau, padahal kau baru 12 tahun. (TERSIPU) Tidak apa Tjung, teteh juga suka kamu begitu
pada Teteh.
63)
(BERSEMANGAT)
Waktu umurmu menginjak 16 tahun. Kita berdua semakin dekat. Hampir
setahun penuh jantung dan darah kita menggelora. Iya, Teteh ingat sekali. Teteh
yang memulai. Teteh yang mengajari kau semua itu. Hari-hari kita berdua seperti
kupu-kupu dan kumbang liar di tengah padang perdu yang ramai dengan bunga-bunga
madu. Semakin lama kau semakin pintar, gagah, kuat, dan semakin mengerti semua
rahasia di tubuh Teteh. (GEMAS) Yang paling berkesan ya ukurannya itu. Kau
memang nomor satu bagi Teteh. Geloramu seperti gelombang yang tidak kenal lelah
menghantam dinding karang. Ohh…Indah dan nikmat sekali Tjung. Biar ranjang
Teteh patah berkali-kali juga tidak apa. Xixixi…. Toh kau juga yang akhirnya membenarkan
jadi baik kembali. Sudah benar dan kuat katamu, tetapi malamnya ambrol juga, lebih
parah dari malam kemarinnya. Hahaha…hahaha….hahaha…. (NAPASNYA MENYESAK).
(MEWEK
SETENGAH MERENGEK) Tjung…, maafkan Teteh Tjung. Kau sekarang di
mana? Lagi apa? Tolong jangan lupakan Tetehmu ini Tjung…! (MENANGIS SEPERTI KANAK-KANAK) Tjung…!! Tjung…!! Tjung…! Jangan lupa tolong bawakan
karmaku padaku Tjung…!...Tjung…!...Tjung……………Tjung………. ( ~ FADE OUT ~ )
~ S E L E S A I ~
Bojonegoro, 3 Sura
1953 Saka
*SARAN : Baca juga naskah drama monolog "balada TJUNG" dan "MATAHARI BURAM" karya Siswo Nurwahyudi di laman blog ini.
NOTE :
Naskah ini merupakan satu dari tiga naskah drama monolog TRILOGI yang saling terhubung antara satu dan lainnya, "balada Tjung", "Rembulan Merah", "Matahari Buram".
Klik di sini :
Maka tak lengkap dan belum afdol jika tidak membaca ketiga naskah tersebut.
SELAMAT MEMBACA & TERIMA KASIH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar